Oleh: Mahmud Syaltout *
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Sejenak di Tahun 2001. Ada momen singkat yang sering luput dari ingatan kita. Tahun 2001, kurs rupiah berada di kisaran 11.300 per USD. Indonesia masih goyah setelah krisis 1998, situasi politik pun panas karena Presiden Abdurrahman Wahid terancam lengser. Di tengah suasana itu, seorang anak fisika ITB bernama Rizal Ramli ditunjuk menjadi Menteri Keuangan. Banyak yang skeptis. “Bukan Sarjana Ekonomi,” begitu komentar orang.
Namun hanya dalam waktu dua bulan, dari 12 Juni sampai 9 Agustus 2001, rupiah justru menguat ke bawah 9.000 per USD (OECD, 2001). Angka itu bukan sekadar data di layar komputer. Itu adalah simbol bahwa kepercayaan bisa pulih bahkan di saat paling genting.
Aku masih ingat betul. Sebagai mahasiswa di Surabaya, aku memimpin orasi menolak pelengseran Gus Dur di depan DPRD Jatim. Gus Dur adalah Presiden terbaik dalam bayangan kami. Jalanan penuh teriakan, penuh rasa marah sekaligus harap. Di saat banyak orang panik, sosok Rizal Ramli hadir dan memberi keyakinan. Ia keras pada spekulan, lugas pada publik, dan tiba-tiba pasar merespons. Rupiah menguat, seakan ikut menghirup energi seorang outsider yang percaya diri.
Berikut ini tiga catatanku tentang Menteri Keuangan terbaik di era Presiden terhebat, yang bukan Sarjana Ekonomi, yang kukenal.
Pertama: Confidence Effect Lebih Kuat dari Angka
Orang sering lupa bahwa krisis bukan hanya soal fundamental ekonomi. Radelet dan Sachs (1998) menulis, krisis Asia adalah krisis kepercayaan. Ketika publik panik, angka apa pun bisa jadi tidak relevan. Inilah yang dipahami Rizal Ramli. Ia bukan teknokrat steril yang sibuk bicara defisit atau cadangan devisa. Ia aktivis intelektual yang tahu bahwa pasar butuh cerita, bukan sekadar tabel.
Dengan gaya khasnya, Rizal menegur spekulan, menegaskan kedaulatan fiskal, dan membangun narasi bahwa pemerintah siap melawan. Confidence effect lahir. Pasar berhenti panik. Rupiah menguat.
Latar belakang fisikanya membuat Rizal terbiasa melihat pola sistemik. Aktivismenya membentuk sensitivitas sosial. Doktoralnya di Boston menambahkan teori ekonomi. Kombinasi ini membuatnya berbeda. Ia membaca kurs bukan hanya sebagai supply-demand, tetapi juga sebagai cermin psikologi massa.
Fenomena ini kini relevan dengan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia juga outsider, lulusan Teknik Elektro ITB yang kemudian menempuh doktoral ekonomi di Purdue. Sama seperti Rizal dulu, ia diragukan. Namun jika belajar dari pengalaman, outsider justru punya modal untuk menciptakan narasi baru.
Kedua: Tradisi Outsider di Level Global
Fenomena outsider tidak hanya terjadi di Indonesia. Nobel Ekonomi berkali-kali dianugerahkan kepada tokoh non-sarjana ekonomi. Kenneth Arrow dan Leonid Kantorovich dari matematika. Herbert Simon dari ilmu politik. John Nash, Reinhard Selten, dan John Harsanyi dari matematika dan filsafat. Daniel Kahneman dari psikologi. Vernon Smith dari teknik elektro. Thomas Schelling dari ilmu sosial politik. Elinor Ostrom dari ilmu politik (Nobel Prize, 2023).
Mereka semua memperluas horizon ekonomi. Arrow memperkenalkan teori pilihan sosial. Simon mengenalkan bounded rationality. Kahneman melahirkan behavioral economics. Ostrom membongkar mitos bahwa sumber daya bersama pasti gagal. Semua terobosan ini lahir dari luar pagar.
Hal serupa juga terjadi di IMF dan Bank Dunia. Christine Lagarde memimpin IMF dengan latar hukum. James Wolfensohn adalah pengacara. Paul Wolfowitz ilmuwan politik. Robert McNamara manajer yang sebelumnya dikenal sebagai Menteri Pertahanan AS. Woods (2006) mencatat, lembaga global ini memang sering dipimpin non-ekonom, karena yang paling dibutuhkan adalah negosiasi, persuasi, dan leadership.
Indonesia pun ikut dalam pola ini. Dari Nobel hingga IMF, outsider terbukti berperan penting. Rizal Ramli adalah contoh nyata di tanah air, dan Purbaya Yudhi Sadewa kini berada di jalur yang sama.
Ketiga: Politik, Gus Dur, dan Pelajaran untuk Hari Ini
Rizal Ramli menjabat di saat transisi politik paling genting. Gus Dur yang dianggap Presiden terbaik dilengserkan, Megawati naik menggantikan. Dalam suasana rawan itu, rupiah justru menguat. Momentum itu kemudian diwariskan pada Boediono yang melanjutkan stabilisasi (Haggard, 2000).
Aku sendiri merasakan suasana itu dari jalanan Surabaya. Sebagai Presiden LAM (Lembaga Aspirasi Mahasiswa) Fakultas Hukum Universitas Airlangga – yang dalam kajian perbandingan hukum tata negara bentuknya yang pernah kupelajari LAM FH Unair ini seperti “Supreme Soviet” yang gabungkan kekuasaan eksekutif dan legislatif – di mana kekuatan perwakilan langsung dan perwakilan komunitas berada dalam satu lembaga, aku menolak pelengseran Gus Dur. Bagi kami, Gus Dur adalah simbol demokrasi dan keberanian menabrak tabu. Rizal Ramli hadir sebagai bagian dari energi itu, memberi percikan optimisme di tengah pesimisme.
Bertahun kemudian, setelah kembali dari Paris sebagai doktor anyaran, aku duduk satu meja dengan Rizal Ramli dan Luhut Binsar Panjaitan dalam forum Gusdurian di Jakarta. Dua loyalis Gus Dur dengan gaya berbeda, tetapi bertemu dalam satu titik: warisan Gus Dur. Dari situ aku sadar, ekonomi Indonesia tidak pernah steril dari politik. Menteri Keuangan bukan hanya soal fiskal, tetapi juga soal narasi, sejarah, dan manusia.
Pengalaman pribadiku juga bersinggungan dengan Purbaya walaupun sangat singkat. Saat aku “nyasar” bekerja sebentar di bawah koordinasi Opung Luhut, aku berkantor di ruangan yang sama dengan Purbaya. Kami sering makan siang bareng di kaki lima seberang gedung Kemenko Marves. Dari situ aku melihat sosok sederhana dan terbuka. Ia bukan pejabat yang menjaga jarak. Ia apa adanya. Dan di situ aku merasa, ada energi outsider yang mengingatkanku pada Rizal Ramli.
Namun ada catatan kritis. Purbaya harus benar-benar belajar dari pengalaman Rizal Ramli. Ia kemarin menyebut dirinya “Menteri Kagetan” saat serah terima jabatan sebagai Menkeu. Ucapan itu mungkin terasa ringan, bahkan lucu. Tapi jangan sampai ekonomi Indonesia juga ikut kagetan. Karena kalau kebijakan fiskal dan keuangan Indonesia kagetan, yang kena jantungan bukan hanya para taipan dan investor besar, tetapi juga pengusaha sektor riil, pemilik saham ritel yang tabungan sahamnya gak seberapa sepertiku, petani, nelayan, driver ojol, buruh. Semua bisa ikut jantungan, dan semoga tidak mati kemudian.
Catatan Akhir: Menyeberangi Batas Disiplin
Pelajaran besar dari semua ini sederhana. Ekonomi terlalu penting jika hanya diserahkan kepada ekonom. Nobel Ekonomi membuktikan itu. IMF dan Bank Dunia juga membuktikan itu. Indonesia punya buktinya sendiri melalui Rizal Ramli di 2001, dan mungkin melalui Purbaya Yudhi Sadewa hari ini.
Rizal hanya sebentar, tetapi cukup untuk memperlihatkan bahwa outsider bisa memberi keyakinan dan menenangkan pasar. Purbaya kini menghadapi keraguan yang sama, tetapi juga peluang yang sama. Jika ia mampu membalikkan keraguan menjadi keyakinan, maka ia bisa menulis kisahnya sendiri, sebagai bagian dari tradisi panjang outsider yang justru memberi arah baru bagi Republik.
Bagi aku pribadi, ini bukan sekadar catatan akademik, melainkan bagian dari perjalanan hidup. Dari jalanan Surabaya bersama Gus Dur, sampai forum Gusdurian dengan Allahu Yarham Pak Rizal dan Opung Luhut, hingga berbagi ruangan dan makan siang dengan Mas Purbaya, aku melihat sendiri bahwa ekonomi Indonesia ditentukan bukan hanya oleh angka, tetapi juga oleh narasi, kepercayaan, dan keberanian manusia.
Dan mungkin, di situlah letak harapan kita hari ini. Bahwa di tengah segala keraguan, selalu ada ruang bagi outsider untuk membuat perbedaan.
Wallahu ‘alam bish showab.
*Penulis adalah Santri Ndhéso, yang pernah belajar Kimia di Jurusan Kimia FMIPA ITS, dan kemudian “tersesat” belajar Hukum Internasional, Geopolitik, Sejarah Hubungan Internasional, Manajemen dan Kajian Intelijen Ekonomi dari Master hingga Doktoral di Universitas Sorbonne, Paris.
Discussion about this post