JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Sekitar empat bulan lalu saya mengajak kawan-kawan berkumpul di rumah saya di Pamulang pada sore hari sambil menikmati rebusan dan kopi pahit. Lumayan banyak yang datang mesti tidak semua kawan yang saya undang bisa hadir. Kami berdiskusi santai tentang satu hal: bagaimana merawat, meneruskan dan membangun kembali tradisi intelektual di Ciputat. Dasarnya adalah amatan dan keprihatinan atas mengendurnya tradisi Islam kritis di Ciputat.
Mungkin amatan pesimis itu terlalu berlebihan. Tapi bukan tanpa dasar. Awal tahun 2000an ketika saya menginjakkan kaki di Ciputat, serasa kampus begitu semarak dengan ide, perdebatan, kajian dan semangat keilmuan. Ada lusinan forum studi. Lembaga ekstra berlomba-lomba unjuk gigi keilmuan dengan berlomba menulis dan menerbitkan karya mereka di harian nasional.
IMM mempunyai Fasco Learning Center. Kawan-kawan PMII bergiat di Piramida Circle. Kawan-kawan HMI berdiskusi di FORMACI. Yang ingin berdiskusi tapi masih tetap rajin aksi berkumpul di LS-ADI. Anak Forum Kota (Forkot), organisasi kiri di Ciputat, mempunyai sendiri forum kajian. Pegiat HAM mendirikan KOMPAK, sebuah komite aksi tanpa kekerasan yang dekat dengan KONTRAS. Para pegiat feminisme mempunyai Seroja. Belum pula ada organisasi lebih lucu dan unik seperti: Jakarta Secret Society—mengaku rahasia tapi mengumumkan diri, dan Komunitas Pintu Terbalik (KOPLIK). Anak-anak santri yang nyasar ke Sekolah Katolik di Driyarkara memprakarsai ISAAC, forum kajian yang fokus pada diskusi pemikiran filsafat kontemporer. Lebih belakangan adik-adik di Usuludin mendirikan PIUS.
Saya masih ingat kala itu pamflet diskusi dan kajian berseliweran. Saling timpal di dinding kampus dan tembok sepanjang jalan Pesangrahan. Tukang fotokopi disibukkan dengan penggandaan buku-buku untuk diskusi. Intinya: semarak, meriah, dan kompetitif untuk kemajuan intelektual.
Kini tak lagi seperti itu. Zaman sudah berubah. Hanya tinggal satu atau dua forum kajian berdiri. Setengah kesepian. Mahasiswa lebih senang ikut training menjadi komedian. Mereka sekarang sering berkumpul di kampus untuk konten tiktok dan sosial media lain. Membaca buku semakin jarang karena sumber internet perlahan menggantikan rujukan. Kecerdasan buatan merangsek ke relung logika dan rasionalitas mahasiswa, membuat mereka semakin malas membaca.
Kami merasa ada kegawatan yang harus disikapi. Kami sadar dunia berubah, pasar UIN pun berubah—tak lagi santri desa seperti dulu. Tapi di dunia seperti apa pun, intelektualisme tetap dibutuhkan. Karena itu kami merasa harus menghidupkan kembali sebuah gerakan. Untuk mempermudah sosialisasi, mengakar pada tradisi, sekaligus menunjukkan cita-citanya, kami menamakan gerakan ini sebagai Mazhab Ciputat.
Hasil diskusi panjang kami di pertemuan-pertemuan setelahnya, kami sepakat tentang hal sederhana: gerakan ini harus berjalan dengan biaya yang sangat minimal. Mulai dari apa yang bisa dimulai. Jika menunggu besar, sempurna, punya dana, maka gerakan intelektual tidak akan pernah jalan. Karena itu kami mulai dengan tiga lini sederhana yang bisa segera dilaksanakan: kursus dan sekolah-sekolah, Roundtable Series, dan Klub Kajian Buku.
Kami menamai Sekolah Mazhab Ciputat karena kami ingin mempunyai lini kajian model forum studi yang lebih terstruktur dengan satu dua orang mentor serta memiliki semacam silabus. Ini semacam aktivitas rutin Mazhab Ciputat. Alhamdulillah hari ini kita akan memulai Sekolah Mazhab Ciputat Angkatan 1. Kami menerima 350 pendaftar dari seluruh Indonesia, dari beragam profesi seperti dosen, konsultan, profesional dan mahasiswa. Dengan banyak pertimbangan, kami memutuskan untuk sekolah angkatan pertama difokuskan kepada adik-adik mahasiswa yang bisa berpartisipasi secara langsung. Masing-masing sekolah menerima 20 peserta dan karena itu kita akan memiliki 80 orang peserta yang akan belajar bersama mentor selama 3 bulan ke depan.
Rountable Series adalah kajian insidental berdasarkan tema aktual atau berdasarkan ketersediaan pembicara. Temanya lebih umum dan responsif. Tidak memiliki kurikulum tapi tetap mencerminkan gagasan besar kami.
Klub Kajian Buku (KKB) adalah sesi diskusi buku di mana pengarang buku berbicara tentang bukunya, atau seseorang membedah satu buku dalam setiap sesi. Ide ini dilecut oleh keinginan memperkenalkan kembali buku-buku penting yang diterbitkan oleh para pemikir dan intelektual dari Ciputat. Harapannya generasi sekarang mengetahui apa isi buku “Islam Rasional”, buku “Islam, Doktrin dan Peradaban”, buku “Memahami Bahasa Agama”. Tentu saja buku lain yang lebih baru dari seluruh penjuru dunia bisa juga dikaji.
Untuk memperlancar gerakan intelektual ini, seorang kawan bernama Amor sigap menawarkan diri untuk membuat situs www.mazhabciputat.id. Nanti di website itu semua informasi kegiatan akan ditampilkan. Website itu juga akan memuat tulisan kawan-kawan peserta sekolah, para mentor atau siapapun yang menyumbang dan dianggap layak.
Tentu saja, untuk sebuah gerakan, kita tidak bisa berjalan sendiri. Di tengah kesibukan yang luar biasa dari masing-masing pegiatnya, saya bersyukur ditemani kawan dan adik-adik yang keren dan memiliki track record akademik dan kemampuan menulis yang baik.
Siapa yang tidak tahu Bung Andi Syafrani dan Bung Isnur? Isnur adalah ketua YLBHI. Juga anggota Dewan Nasional WALHI. Di Ciputat ia rela turun gunung untuk menjadi mentor kajian Hukum dan Kebijakan. Bung Andi Syafrani adalah lawyer dengan jam terbang tinggi. Jokowi pernah menjadi kliennya. Ia juga mengomandoi organisasi besar, LIRA. Lagi-lagi ia rela turun gunung menjadi mentor hukum bersama Bung Isnur.
Dani Ramdani sudah 15 tahun lebih bergelut dengan pemikiran Ibnu Sina, dari filsafat cinta sampai kajian teologisnya. Ia menerjemahkan dan menulis buku-buku tentang Ibnu Sina. Ia akan didampingi Dedy Ibmar, anak muda nyentrik ahli filsafat materialisme historis. Tesisnya tentang Lenin diselesaikan di Ural University, Rusia. Tentu bahasa Rusianya fasih. Ia menerjemahkan dan menerbitkan beberapa karya sastra dari bahasa Rusia. Mereka berdua akan menjadi mentor kajian Filsafat dan Pemikiran Islam.
Milastri Muzakkar menerbitkan 11 karya di pelbagai penerbit nasional. Ia pegiat di berbagai lembaga dan NGO. Juga Kairun Nisak: anak muda yang baru menyelesaikan S2 di STF Driayarkara. Mengedit buku, mengorganisasi kegiatan dan menulis. Annalia Bahar menyelesaikan pendidikan magister di UI dan memimpin sebuah gorup perusahaan. Mereka akan menggawangi kajian Feminisme dan Jender.
Dirga Maulana, di tengah keterbatasan kesehatan, tetap membara semangatnya. Ia lulus dari kampus bergengsi di China, Tsinghua Unversity. Kemampuannya menulis dan meneliti tidak diragukan lagi. Sabir Laluhu pernah menggemparkan publik dengan bukunya “Metamorfosis Sandi Korupsi”. Buku itu membantu banyak pihak, termasuk KPK untuk memahami bahasa kode yang biasa dipakai oleh para koruptor berkomunikasi. Berdua mereka akan menemani adik-adik pada kelas Sastra dan Kepenulisan.
Selain mereka ada pula Saidiman Ahmad, peneliti senior di SMRC, Adi Prayitno, pengamat politik terkenal yang ganteng dan mempesona, dan Fakhruddin Mukhtar yang siap berkontribusi dalam berbagai bentuk. Adik-adik yang lebih junior sepertu Ucen dan Fathi membantu luar biasa semua proses dengan bekerja keras. Tentu ada banyak lagi senioar, kawan dan orang-orang yang tidak saya sebutkan namanya di sini, yang telah mewakafkan waktu luangnya untuk merawat gerakan intelektualisme ini.
Terakhir, tentu saja apa yang kita lakukan hari ini barulah langkah awal, langkah kecil. Tantangan ke depan akan lebih besar. Orang kadang tidak suka lihat orang lain melakukan sesuatu, meski mereka juga enggan melakukannya. Jika tidak ada orang, organisasi atau kelompok yang mau mendorong mobil intelektualisme ini berjalan kembali, kita harus mendorongnya biar jalan. Ini kewajiban kolektif, fardu kifayah. Orang akan pesimis, mencibir, sinis, atau iri. Tapi itu biasa: itu tanda kita sedang melakukan sesuatu. Itu tanda apa yang kita lakukan dilihat dan dinilai orang.
Sebelum penutup, izinkan saya mengutip pernyataan yang tertuang di website kami sebagai komitmen bersama:
“Sebagai sebuah mazhab pemikiran, Ciputat menandai keberanian untuk menafsir ulang khazanah Islam secara kreatif, membuka diri terhadap ilmu pengetahuan modern, serta merespons tantangan sosial, politik, dan kebangsaan Indonesia. Dari sinilah muncul generasi pemikir, aktivis, dan akademisi yang berperan penting dalam memperkaya wacana Islam, demokrasi, dan kemanusiaan di Indonesia. Karena itu Mazhab Ciputat bukan sekadar sebutan geografis, melainkan sebuah simbol tradisi berpikir kritis, dialogis, dan progresif yang berakar pada pergulatan intelektual.
Kini, “Mazhab Ciputat” dihidupkan kembali sebagai sebuah wadah yang mengusung api intelektual—api yang menyalakan keberanian berpikir kritis, keberpihakan pada keadilan sosial, serta keterbukaan terhadap dialog lintas tradisi. Melalui riset, publikasi, diskusi, dan kerja-kerja intelektual lainnya, Mazhab Ciputat berkomitmen untuk terus menghadirkan Islam yang relevan dengan zaman, sekaligus meneguhkan peran intelektual dalam membangun peradaban Indonesia yang inklusif, adil, dan berkeadaban.”
*Penulis adalah Direktur Mazhab Ciputat
Discussion about this post