Oleh : Zezen Zaenal Mutaqin*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Fakultas Studi Islam UIII baru saja kedatangan seorang peneliti tamu (research fellow) yang akan tinggal di Depok selama dua bulan. Ia lulusan Oxford dan sekarang bekerja di Muslim College, Cambridge. Ia adalah peneliti dan penulis biografi Imam Bukhari. Asalnya dari Mesir.
Dalam obrolan ringan di pantry Fakultas, saya meminta dia menjelaskan sistem “college” yang masyhur baik di Oxoford maupun Cambridge. Sekarang tak banyak lagi universitas di dunia yang memakai model ini. Di Inggris saja hanya ada beberapa. Model college yang dimulai sekitar abad ke 11 itu masih dipertahankan di dua kampus top itu hingga kini.
College, kata dia, sederhananya seperti asrama-asama kecil di sekitar kampus Oxford. Biasanya berdiri karena ada donatur yang memprakarsai pendiriannya. Merton College, misalnya, dulu didirikan oleh Pak Merton.
Mahasiswa, di setiap college, tinggal, makan dan mendapatkan pelajaran tambahan diluar kuliah. Semacam tutor. Profesor juga ada yang terafiliasi dengan college sehingga mahasiswa bisa lebih mudah berdiskusi. Profesor-mahasiswa, dalam sistem college menjadi seperti kyai-santri. Transmisi keilmuan berjalan lebih solid karena tidak terbatas oleh tembok dan meja ruang kelas.
Dulu semua dana untuk itu ditanggung oleh dermawan pendiri College atau yang menyumbang. Kini sebagian mahasiswa diminta membayar ke college. Tapi tidak besar. Masih sangat terjangkau. Untuk kuliah dan gelar, mahasiswa akan pergi ke kampus sesui dengan jurusan masing-masing. Gelar juga dikeluarkan oleh school atau fakultas.
Jadi singkatnya, urusan akademik formal dipegang depertemen, school atau fakultas, sementara urusan kesejahteraan mahasiswa, pertumbuhan akademik yang lebih dalam, kemanatang, mentoring dan komunitas dipegang oleh college.
Perpaduan dua model ini, college dan school, menyebabkan kampus tumbuh bukan hanya sebagai lembaga akademik, tapi juga tempat komunitas epistemik yang solid. Selama ratusan tahun sistem ini telah melahirkan para sarjana top kelas dunia.
***
Akhir pekan lalu kami para alumni forum studi kecil di Ciputat, Formaci, berkumpul. Kebetulan Yayasan Alumni Formaci baru dibentuk tahun lalu. Jadi pertemuan itu semacam rapat kerja. Pertemuan selama satu hari itu berpusat pada dua hal: memikirkan kelanjutan perkaderan intelektual di Ciputat dan kegiatan memperingati 40 tahun Formaci.
Formaci berdiri pada 1985. Tahun ini genap umurnya 40 tahun. Untuk sebuah forum studi yang setiap tahun hanya punya maksimal 10 aktivis, usia ini terbilang mengagumkan. Usia 40 adalah usia kenabian! Karena ini setidaknya patut dirayakan–juga direnungkan.
Selama 40 tahun itu para aktivis menghuni asrama–biasanya rumah yang disewa. Di asrama itu mereka makan, minum, tinggal dan yang terpenting diskudi dan belajar. Selama 40 tahun itu juga perpustakaan Formaci yang lumayan bagus berpindah-pindah menemani para penghuninya. Koleksinya terus bertambah, dari fotokopian Das Kapital sampai buku berjudul “Dua Tongkol Jagung”, sebuah buku pedoman pertanian yang entah oleh siapa dibawa ke perpustakaan itu.
Selama 40 tahun juga para dosen dan senior sabar menemani adik-adik tumbuh dan belajar. Mereka, para senior, datang untuk memberi pelatihan menulis, memotifasi biar semangat sekolah ke luar negeri, atau sekedar mengajak nonton ke bioskop. Sesekali mentraktir makan pecel lele di pinggir jalan raya Ciputat yang semakin semrawut.
Singkat kata, jika direnungkan, Formaci telah menjelma menjadi seperti college dalam cerita saya tentang Oxford itu. Tentu bedanya jauh: di Formaci, asrama berdiri seadanya, dengan uang patungan senior dan junior yang diminta setiap tahun. Di Formaci para aktvis harus makan di warteg dengan uang sendiri, bukan di dapur dan hal ruang makan ala Harry Potter yang terkenal itu. Tapi substansinya sama: Formaci adalah ruang tempat anak-anak aktivis tinggal, dan tumbuh secara akademik-intelektuil.
Mentoring selama 40 tahun ini juga berjalan dengan cukup baik. Saya bisa sekolah ke kampus bagus di Australia dan Amerika, karena mendapat mentoring dari komunitas yang kecil dan ‘intimate’ ini. Banyak sarjana dan pemikir yang lahir dari proses mentoring di Formaci ini. Sebut saja Saiful Mujani, Ihsan Ali-Fauzi, Budhi Munawar Rahman, Ali Munhanif, Hendro Prasetyo, Yunianti Khuzaifah, Neng Dara, Nong Darol, Ace Hasan Sadzili, Burhanuddin Muhtadi, Ayang Utriza Yakin, Saidiman Ahmad dan lain-lain–terlampau panjang untuk disebutkan semuanya.
Bedanya Formaci dengan ‘college’ lain di Ciputat seperti asrama mahasiswa kedaerahan (seperti KMSGD misalnya) adalah dalam hal mentoring akademik. Banyak asrama berdiri tapi lebih banyak menjadi sekedar tempat tinggal. Aspek mentoring intelektualnya sangat lemah. Mungkin karena dari awal mereka berkumpul semata-mata karena alasan primordial. Formaci, sejak awal, berkumpul dan berdiri karena kesamaan spirit intlektual.
Ke depan, jika kaderisasi intelektual di Ciputat, dan juga kampus lain, ingin lebih solid kita harus berfikir untuk menciptakan asrama yang lebih nyaman dengan mentoring akademik yang ketat dan serius. Itulah cita-cita kecil Formaci sekarang: memiliki asrama permanen yang nyaman dengan mentoring akademik yang ketat dan serius.
*Penulis adalah Pengajar di Fakultas Islam Studies UIII Depok
Discussion about this post