Perempuan memiliki peran kunci dalam mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia, baik sebagai ibu, pendidik, maupun pengambil kebijakan. Isu ini menjadi pokok pembahasan dalam Workshop Pendidikan bertema “Pendidikan untuk Semua: Peran Perempuan dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan” yang digelar oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI bersama DPP Pengajian Al-Hidayah di Hotel Pullman, Jakarta.
Acara ini mempertemukan tokoh-tokoh nasional yang konsisten memperjuangkan pendidikan inklusif dan setara, diantaranya senator Sylviana Murni, Tati Hartimah, dan Lucia RM Riyanto.
Dalam paparannya, Sylviana Murni menekankan bahwa meski perempuan di Indonesia memikul peran strategis dalam pendidikan, mereka masih menghadapi berbagai hambatan struktural.
“Perempuan hari ini masih bergulat dengan stereotip budaya, keterbatasan akses di wilayah 3T, dan minimnya keterwakilan dalam posisi kunci pendidikan. Padahal, perempuan adalah agen perubahan – dari rumah hingga ruang kebijakan,” tegasnya.
Ia menyoroti pentingnya program afirmatif yang pro-perempuan, termasuk pendidikan non-formal, pelatihan kepemimpinan, dan kebijakan berbasis gender.
“Kita butuh pendidikan keluarga berbasis kesetaraan, akses digital yang inklusif bagi perempuan, dan kurikulum yang menampilkan sosok perempuan inspiratif sebagai bagian dari narasi kebangsaan,” tambahnya.
Sementara itu, Tati Hartimah menyoroti pentingnya penguatan ketahanan keluarga, dengan ibu sebagai titik sentral pendidikan anak sejak dini.
“Ibu adalah madrasah pertama. Pendidikan anak dimulai dari rumah, bukan hanya lewat instruksi, tapi lewat keteladanan dan kedekatan emosional,” ujarnya.
Ia menguraikan prinsip pendidikan anak yang efektif: keteladanan (qudwah hasanah), pengulangan (tikrar), kesinambungan (istimrar), dialog (hiwar), dan diskusi sehat (jidal).
“Kalau anak ingin tumbuh menjadi pembelajar sejati, maka ibunya harus menjadi pembelajar pertama,” kata Tati.
Di tempat yang sama Lucia RM Riyanto memperkuat argumen bahwa peran ibu dalam pengasuhan tidak dapat digantikan, bahkan oleh teknologi sekalipun. Berdasarkan hasil penelitian Apriyanti (2021) di Pacitan, Lucia menjelaskan bahwa ibu berperan memenuhi kebutuhan anak secara fisik, emosional, dan kognitif.
“Ibu adalah role model pertama, dari cara bicara sampai perilaku. Ia menjadi pusat interaksi yang sangat menentukan kualitas tumbuh kembang anak,” jelas Lucia.
Namun, tantangan modern juga disebutkannya sebagai hambatan serius.
“Gadget hari ini mulai menggantikan kehadiran ibu. Banyak ibu juga terpaksa bekerja tanpa mendapat dukungan lingkungan yang memahami pentingnya peran pengasuhan,” ungkapnya.
Workshop ini menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis, seperti pemberian beasiswa untuk anak perempuan di keluarga prasejahtera, pelibatan perempuan dalam penyusunan kebijakan pendidikan, penguatan pendidikan parenting berbasis gender, serta integrasi tokoh perempuan dalam bahan ajar.
“Jika kita ingin pendidikan untuk semua, maka kita tidak boleh lagi meninggalkan perempuan di belakang,” tutup Sylviana (RED).































Discussion about this post