JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam proyek Rempang Eco City yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan Undang-Undang TNI. Dalam siaran pers yang dirilis pada Rabu (15/01/2024), koalisi tersebut mengecam keterlibatan TNI dalam proyek ini, yang dinilai mengabaikan prinsip profesionalisme tentara.
Koalisi mengungkapkan, keterlibatan TNI dalam proyek ini dimulai dari rapat koordinasi antara Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dan Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Pratama, yang digelar pada Senin (13/01/2025). Rapat tersebut membahas sinergi untuk mempercepat pelaksanaan proyek Rempang Eco City, yang turut melibatkan pihak Kodam 1 Bukit Barisan, Kodim 0316 Batam, serta perwakilan PT Makmur Elok Graha (PT MEG).
Menurut koalisi, pelibatan TNI dalam proyek investasi semacam ini bertentangan dengan Pasal 2 huruf d UU TNI, yang mengatur bahwa tentara tidak boleh berbisnis dan harus menjunjung tinggi HAM.
“TNI tidak dibentuk untuk terlibat dalam proyek bisnis. Mereka dirancang untuk menghadapi ancaman militer dan melindungi kedaulatan bangsa, bukan menghadapi rakyatnya sendiri,” tegas koalisi.
Koalisi juga menyoroti potensi pelanggaran HAM yang dapat timbul akibat keterlibatan TNI dalam proyek-proyek seperti Rempang Eco City. Pengalaman di berbagai wilayah menunjukkan bahwa intervensi TNI dalam proyek serupa seringkali berujung pada konflik dan kekerasan terhadap masyarakat lokal.
Keterlibatan TNI di proyek ini juga dinilai melanggar Pasal 7 UU TNI yang mengatur tentang tugas pokok militer. Koalisi menegaskan, proyek Rempang Eco City tidak dapat dikategorikan sebagai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang membutuhkan persetujuan politik dari pemerintah dan DPR.
“Dalih tugas perbantuan yang disebutkan Pasal 7 ayat (2) UU TNI juga tidak relevan, karena situasi yang terjadi di Rempang tidak menunjukkan kondisi yang melampaui kapasitas otoritas sipil,” lanjut koalisi.
Koalisi menduga keterlibatan TNI dalam proyek ini didorong oleh motif ekonomi dan politik dari segelintir pihak tertentu.
“Adanya keterlibatan perwira intervensionis yang mencoba menarik TNI ke dalam ranah proyek bisnis harus diselidiki lebih lanjut,” ujar M. Isnur, Ketua YLBHI.
Menurut koalisi, proyek ini tidak hanya berdampak pada profesionalisme TNI, tetapi juga memperbesar risiko konflik antara tentara dengan masyarakat adat yang selama ini mendiami wilayah Rempang.
Dalam sepuluh tahun terakhir, TNI disebutkan telah beberapa kali terlibat dalam proyek-proyek pemerintah seperti Lumbung Pangan (Food Estate), pengamanan PT Freeport Indonesia, dan proyek strategis nasional lainnya. Keterlibatan ini seringkali diwarnai dengan kekerasan terhadap masyarakat lokal dan masyarakat adat.
“Kasus seperti di Wadas, Papua, hingga Sumatera Utara menjadi bukti nyata bahwa keterlibatan TNI dalam proyek bisnis dan investasi selalu berakhir dengan konflik yang merugikan rakyat,” kata koalisi.
Tuntutan Koalisi
Berdasarkan temuan ini, koalisi mendesak:
- Presiden RI memerintahkan Panglima TNI untuk memastikan tidak ada keterlibatan TNI dalam proyek Rempang Eco City.
- Komisi I DPR RI mengevaluasi tindakan TNI yang melampaui peran, tugas, dan fungsinya.
- Panglima TNI memerintahkan audit internal terhadap keterlibatan satuan militer dalam proyek ini.
- Pemerintah dan DPR memastikan semua kementerian dan lembaga negara tidak membuka ruang bagi TNI untuk terlibat dalam proyek-proyek pemerintah.
Koalisi mengingatkan pentingnya menjaga profesionalisme TNI agar tetap fokus pada fungsi pertahanan negara. “Intervensi TNI di bidang sipil hanya akan merusak citra institusi dan menimbulkan konflik baru,” pungkas koalisi.
Koalisi ini terdiri dari berbagai organisasi, termasuk Imparsial, YLBHI, KontraS, Amnesty International Indonesia, WALHI, dan AJI Jakarta. Mereka berkomitmen untuk terus mengawal reformasi sektor keamanan demi menjaga hak-hak rakyat (RED).
Discussion about this post