JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta meluncurkan laporan hasil investigasi kasus salah tangkap, penyiksaan, dan penyebaran data pribadi terhadap enam anak yang diduga dilakukan oleh anggota Polres Magelang Kota. Laporan itu disebut sebagai bukti bahwa reformasi kepolisian masih jauh dari kenyataan.
Konferensi pers berlangsung di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, pada Kamis (16/10/2025). Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan LBH Yogyakarta, YLBHI, LBH Jakarta, dan KontraS.
Acara diawali dengan pemutaran video testimoni dari orang tua dua korban, Dita (orang tua DRP, 15 tahun) dan Sumiati (orang tua MDP, 17 tahun). Dalam video tersebut, keduanya menuntut keadilan atas penyiksaan yang dialami anak-anak mereka.
“Anak kami disiksa, disebar data pribadinya, padahal mereka tidak bersalah sama sekali. Kami akan perjuangkan terus hak anak kami,” ujar Dita dan Sumiati sambil terisak.
Temuan LBH: Polisi Gunakan Selang dan Kencur untuk Menyiksa
Dalam pemaparan laporan, Royan Juliazka Chandrajaya, Staf Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, mengungkap bahwa terdapat 26 anak korban salah tangkap, namun hanya enam anak yang melanjutkan proses hukum.
Ia menjelaskan bahwa para korban mengalami penyiksaan selama hampir 20 jam menggunakan berbagai alat seperti selang, helm, sandal bersol keras, keling, dan pentungan.
“Para korban dipiting, diseret, dipukul di kepala dan perut, dicambuk menggunakan selang, bahkan dipaksa mengunyah kencur secara bergiliran,” ungkap Royan.
Setelah disiksa, para korban dibebaskan dengan luka di sekujur tubuh dan diancam agar tidak menceritakan apa yang mereka alami. Data pribadi mereka juga disebarkan ke media sosial disertai tuduhan palsu sebagai pelaku kerusuhan.
Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menilai peristiwa di Magelang merupakan cerminan dari pola kekerasan yang juga terjadi di daerah lain.
“Siksaan hari ini tidak hanya fisik, tetapi juga digital. Penyebaran data pribadi adalah bentuk digital torture,” ujarnya.
Sementara itu, Andri Yunus, Wakil Koordinator Eksternal KontraS, menilai penyiksaan oleh aparat kini telah menjadi momok serius di tubuh kepolisian.
“Indonesia sudah meratifikasi konvensi internasional anti-penyiksaan, tapi praktiknya masih terus terjadi. Saya bahkan heran, kenapa bisa ada bumbu dapur, kencur, di kantor polisi? Itu sangat tidak manusiawi,” tegas Andri.
YLBHI: Polri Harus Direformasi Total
Arif Maulana, Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, menegaskan bahwa tindakan represif oleh aparat kepolisian bukan hanya terjadi di Magelang. Berdasarkan data YLBHI dan jaringan LBH di seluruh Indonesia, pada 2022–2023 terdapat 46 kasus penyiksaan dengan 294 korban, serta 24 kasus pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing) dalam rentang 2020–2023.
“Penyiksaan masih menjadi pola aparat dalam mencari pengakuan. Ini bukti lemahnya reformasi kepolisian,” katanya.
Berdasarkan hasil investigasi dan temuan di lapangan, LBH Yogyakarta bersama YLBHI, LBH Jakarta, dan KontraS menyampaikan lima tuntutan:
-
Kapolri diminta mundur karena gagal memberantas praktik penyiksaan dan pelanggaran HAM di tubuh Polri.
-
Presiden diminta segera melakukan reformasi kepolisian.
-
Pengawasan terhadap Polri diperkuat, serta membuka ruang partisipasi publik dalam pengawasan.
-
Kasus penyiksaan harus diusut tuntas, agar tidak terjadi impunitas.
-
Polres Magelang Kota diminta menghentikan intimidasi terhadap korban dan keluarga korban.
Laporan ini menjadi alarm keras bagi pemerintah dan kepolisian untuk memperbaiki sistem penegakan hukum dan perlindungan HAM, terutama terhadap anak-anak yang menjadi korban salah tangkap dan kekerasan aparat (RED).































Discussion about this post