JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai telah menunjukkan arah positif dalam pembangunan ekonomi nasional, namun ketimpangan antarwilayah dan sektor ekonomi masih menjadi tantangan besar.
Penilaian ini disampaikan dalam diskusi reflektif bertajuk “Refleksi 1 Tahun Pemerintahan Presiden Prabowo: Bidang Ekonomi dan Ketahanan Pangan” yang diselenggarakan oleh Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) di KAHMI Centre, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber utama: Dr. M. Syarkawi Rauf, pengamat ekonomi dari Universitas Hasanuddin Makassar, dan Khudori, pengamat ekonomi pertanian dari Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI).
Menurut Dr. M. Syarkawi Rauf, arah kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo sudah berada di jalur yang tepat, namun belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
“Pertumbuhan ekonomi 5 persen itu bagus, tapi belum cukup untuk disebut inklusif. Masyarakat bawah masih belum merasakan dampak nyata dari stabilitas ekonomi nasional,” ujar Syarkawi.
Ia menambahkan, tantangan ke depan adalah mendorong transformasi ekonomi dari berbasis sumber daya alam menuju industri manufaktur, sekaligus membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa.
“Pemerataan ekonomi tidak akan tercapai tanpa aglomerasi ekonomi daerah. Pemerintah perlu membangun ekosistem industri di setiap provinsi agar tidak hanya Jawa yang tumbuh,” tegasnya.
MN KAHMI dalam refleksinya menilai bahwa investasi besar di sektor pangan dan energi masih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia. Akibatnya, daerah-daerah di timur Indonesia belum sepenuhnya menikmati manfaat pembangunan.
“Pemerintah sudah membuka peluang investasi dan proyek strategis, tetapi perlu keberanian untuk menggeser pusat pertumbuhan ke daerah-daerah baru,” kata Sekjen MN KAHMI, Syamsul Qomar.
Ia menegaskan pentingnya koordinasi lintas kementerian dan daerah untuk memperkuat sinergi pembangunan, terutama dalam hal pengelolaan pangan dan distribusi logistik.
Krisis Data dan Koordinasi Kebijakan
Selain soal ketimpangan ekonomi, KAHMI juga menyoroti lemahnya koordinasi data nasional yang menghambat efektivitas kebijakan. Perbedaan data antara Kementerian Pertanian, BPS, dan Bulog disebut menjadi penyebab keterlambatan dalam intervensi pasar dan kebijakan impor.
“Kalau data pangan saja tidak sinkron, bagaimana kita bisa menyusun kebijakan ekonomi yang tepat sasaran?” ujar Syarkawi.
MN KAHMI mendorong agar pemerintah membangun satu sistem data nasional terintegrasi untuk menghindari tumpang tindih kebijakan antarinstansi.
Meski menyampaikan sejumlah catatan kritis, MN KAHMI tetap optimistis bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran mampu memperkuat pondasi ekonomi yang berkeadilan di tahun-tahun mendatang.
“Tahun kedua harus menjadi masa konsolidasi kebijakan. Fokus pada industrialisasi daerah, digitalisasi UMKM, dan percepatan reformasi pangan nasional,” ujar Syamsul.
Refleksi satu tahun ini menjadi pengingat bahwa pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka, tetapi juga tentang pemerataan, kemandirian, dan keberlanjutan (RED).































Discussion about this post