JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Lembaga riset Center for Strategic and International Studies (CSIS) merilis catatan penting mengenai evaluasi satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dalam laporan bertajuk Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Dinamika, Trade-off, dan Tantangan, CSIS menyoroti adanya tiga policy trade-off utama yang dihadapi pemerintahan baru: kabinet gemuk, pergeseran arah kebijakan ekonomi, dan menguatnya kembali sentralisasi kekuasaan di pemerintah pusat.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, menjelaskan bahwa langkah-langkah strategis yang diambil Prabowo selama setahun terakhir menunjukkan kombinasi antara upaya menjaga stabilitas politik dan kebutuhan efisiensi tata kelola.
“Prabowo membentuk kabinet berjumlah 49 kementerian, angka tertinggi dalam dua dekade terakhir. Ini menunjukkan trade-off antara kebutuhan efisiensi dengan stabilitas politik,” ujar Arya dalam media briefing CSIS, Rabu (22/10/2025).
Kabinet Gemuk Demi Stabilitas Politik
Menurut CSIS, keputusan memperluas kabinet menjadi 49 kementerian dengan total 118 posisi strategis, termasuk wakil menteri dan pejabat setingkat menteri, lebih mencerminkan strategi politik untuk menjaga koalisi parlemen ketimbang efisiensi birokrasi.
“Kebutuhan politik untuk mempertahankan dukungan di DPR membuat presiden bergantung pada banyak partai,” tambah Arya.
CSIS menilai, pola politik seperti ini adalah konsekuensi dari sistem multipartai ekstrem di Indonesia, di mana presiden harus menyeimbangkan kepentingan antarpartai demi menjaga stabilitas pemerintahan.
Arah Ekonomi Bergeser ke Program Redistribusi Sosial
Trade-off kedua yang disoroti CSIS adalah pergeseran arah kebijakan ekonomi. Pemerintahan Prabowo disebut lebih menekankan pada redistribusi sosial dan kesejahteraan langsung dibandingkan fokus pembangunan infrastruktur yang dominan di era Presiden Joko Widodo.
Salah satu simbol pergeseran tersebut adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menjadi program unggulan nasional dan bentuk kebijakan populis berbasis kesejahteraan rakyat.
“Transformasi besar terlihat dari program berbasis infrastruktur menjadi program redistribusi sosial seperti MBG,” ujar Arya.
Kekuasaan Menguat di Tangan Pemerintah Pusat
CSIS juga mencatat kecenderungan resentralisasi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Program-program utama kini lebih banyak dikendalikan langsung oleh pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah.
“Trade-off ketiga adalah antara desentralisasi dan resentralisasi. Yang terjadi justru penguatan peran pemerintah pusat,” ungkap Arya.
Contohnya, pelaksanaan MBG yang melibatkan pembentukan lembaga baru di daerah, namun semua struktur dan anggarannya dikontrol langsung oleh pusat.
Selain itu, CSIS menemukan adanya policy switching pada alokasi fiskal negara. Anggaran infrastruktur dikurangi cukup signifikan, sementara belanja untuk alat utama sistem senjata (alutsista) justru meningkat tajam pada APBN 2026.
Pemerintah juga memperkuat struktur TNI dengan pembentukan 22 Kodam baru, penambahan 6 grup Kopassus, dan pembangunan 750 batalyon teritorial di seluruh Indonesia.
“Belanja alutsista meningkat tinggi, sementara alokasi infrastruktur menurun tajam,” jelas Arya.
CSIS mengakui bahwa stabilitas politik berhasil dijaga selama satu tahun terakhir. Namun, lembaga itu menilai stabilitas tersebut masih bersifat jangka pendek, karena fondasinya dibangun atas negosiasi politik, bukan kesamaan visi kebijakan antarpartai.
“Koalisi dibangun berdasarkan kebutuhan dukungan di DPR, bukan kesamaan platform. Ini membuat stabilitas jangka panjang rentan,” pungkas Arya (RED).































Discussion about this post