JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Tragedi penabrakan seorang pengemudi ojek online (ojol) oleh kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi di Jakarta, Kamis (28/8/2025), meninggalkan luka mendalam sekaligus mempertegas wajah kelam demokrasi Indonesia. Insiden ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan puncak dari pola kekerasan aparat yang terus berulang dalam merespons kritik publik.
Data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan, sepanjang Juli 2024 hingga Juni 2025, sedikitnya 55 warga meninggal dunia akibat kekerasan aparat. Rinciannya: 10 orang meninggal akibat penyiksaan, 37 orang akibat pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing), dan 8 orang akibat salah tangkap. Kasus-kasus yang menyita perhatian publik antara lain kematian Gamma di Semarang dan Afif Maulana di Padang, keduanya masih berusia belasan tahun.
Koalisi yang terdiri dari lebih 200 organisasi, termasuk YLBHI, ICW, KontraS, dan WALHI, menilai brutalitas aparat adalah bukti nyata gagalnya pemerintah menjalankan amanat reformasi. Polri disebut tidak kunjung bertransformasi menjadi institusi sipil yang humanis, melainkan tetap represif, anti-demokrasi, dan minim akuntabilitas.
“Nyawa rakyat terus melayang di tangan aparat dengan senjata dan kendaraan yang dibeli dari pajak rakyat. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi kejahatan negara,” tegas pernyataan sikap bersama koalisi.
Alih-alih menindak tegas pelanggaran, pemerintah justru dianggap memberi restu melalui sikap diam. Presiden dinilai tak bisa bersembunyi di balik alasan “tidak tahu”. “Diamnya Presiden sama dengan menyetujui kekerasan itu terjadi. Publik bahkan mencurigai ada strategi sistematis untuk membungkam kritik rakyat,” tambahnya.
Koalisi mendesak Presiden segera mengambil langkah tegas, termasuk mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang dinilai gagal mereformasi tubuh kepolisian. Mereka juga menuntut dibentuknya tim independen untuk mengusut penabrakan ojol yang menewaskan satu orang, serta kasus-kasus kekerasan aparat lainnya.
Selain itu, DPR diminta menindak anggota yang memicu amarah publik melalui kebijakan maupun sikap politik yang ugal-ugalan. “Pemerintah dan DPR justru menutup ruang dialog. Kritik rakyat dijawab dengan gas air mata, peluru karet, hingga kendaraan lapis baja,” ujar salah satu aktivis.
Bagi masyarakat sipil, tragedi ini bukan hanya soal korban jiwa, melainkan sinyal darurat demokrasi. Pola represif yang terus terjadi menunjukkan bahwa negara semakin menjauh dari prinsip demokrasi pasca-Orde Baru.
“Jika tidak ada perubahan, Indonesia sedang meluncur ke arah tirani dalam balutan demokrasi semu,” tulis koalisi dalam pernyataan resminya.
Koalisi juga menuntut evaluasi menyeluruh terhadap Polri, penghentian kriminalisasi demonstran, serta reformasi sistem keamanan agar kepolisian benar-benar kembali ke khitah sebagai pelindung rakyat, bukan algojo negara (RED).
Discussion about this post