JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Dari lekuk sunyi Sei Rambai, yang letaknya ada di tepian Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan, kampung yang diselimuti kabut pagi dan desir angin ladang, Adlin Panjaitan dilahirkan tepat pada 6 Februari 1996. Sejak awal, hidup tak pernah memberinya jalan yang datar. Ia tumbuh bersama gemetar harapan dan gelisah yang tak selalu bisa dijelaskan. Hidup menempanya dengan jalan terjal, seperti halnya tanah kelahirannya yang keras, namun tak pernah menyerah pada musim.
Adlin memulai kuliahnya di STMIK Royal Kisaran pada 2015. Lima tahun kemudian, pada 24 Agustus 2019, ia menyelesaikannya. Di atas kertas, itu hitungan biasa. Tapi di balik tanggal-tanggal itu, tersembunyi malam-malam panjang yang ia lewati tanpa ranjang, hanya beralaskan sajadah di musholla Pertamina Imbon, atau lantai dingin Kantor PWI, Kantor NU, bahkan Musholla kampus. Ia tak malu menyebut semua itu, karena baginya, itulah harga dari kata “tamat”.
Adlin bukan mahasiswa biasa. Satu bulan sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampus, ia memilih bergabung dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dari situ ia tahu, bahwa menjadi mahasiswa bukan sekadar mengejar Indeks Prestasi Kumulatif, tapi menakar keberanian memikul beban sejarah dan harapan rakyat. Ia belajar bahwa seorang mahasiswa tak kalah sibuk dari seorang presiden—bedanya hanya pada panggung.
Di organisasi PMII, Adlin menempuh jalan penuh luka dan cinta. Ia menjadi Ketua Umum PMII Cabang Asahan–Tanjungbalai periode 2018–2019. Ia juga aktif di organisasi internal kampus dan ikut dalam kegiatan karate. Namun, tak pernah sekalipun ia merasa kehilangan arah akademik. Kuliahnya justru selesai kurang dari empat tahun sebuah hal yang di kalangan aktivis disebut prestasi langka.
Bagi Adlin, organisasi bukan penghalang, tapi penyala semangat. Ia bahkan menyampaikan pesannya kepada generasi muda: bahwa aktif di organisasi tak pernah berarti gagal dalam akademik, justru memperkaya pengalaman dan memperluas cakrawala nurani.
Tahun 2024, ia maju sebagai kandidat Ketua Umum Pengurus Besar PMII dalam Kongres ke-XXI di Palembang. Meski belum terpilih, langkahnya tak surut. Adlin percaya, pergerakan tidak pernah selesai di satu forum. Ia terus melangkah, dan langkahnya kini mengarah ke jalan yang lebih lebar: panggung politik nasional.
Tanggal 30 Juni 2025, bersama dengan barisan 156 aktivis Cipayung lainnya, Adlin membuat keputusan yang mengejutkan sebagian kalangan: ia resmi bergabung dengan Partai Golkar melalui organisasi sayapnya, Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Sebagai tokoh muda NU dan eks aktivis PMII, langkah ini dianggap berani dan tak biasa.
“Politik bukan hanya ruang kekuasaan, tapi ladang pelayanan,” ucapnya.
“Partai Golkar adalah tempat paling tepat untuk mulai melayani masyarakat, bukan tempat untuk bersembunyi di balik simbol,”imbuhnya.
Ia sadar bahwa banyak yang terbiasa melihat kader PMII hanya berlabuh di satu poros. Tapi ia datang membawa tafsir baru, bahwa zona nyaman tak akan mengubah apa-apa. Bersama rekan-rekan dari jaringan Cipayung Plus, Adlin kini membangun konsolidasi, menyiapkan barisan kader muda Partai Golkar untuk turut serta dalam arus perubahan.
Dari Lubuk Palas yang sunyi hingga Jakarta yang bising, Adlin Panjaitan menapaki satu demi satu tangga perjalanan. Ia tidak ingin menjadi besar sendirian. Ia ingin menjadi bagian dari generasi yang berani berbeda, tapi tetap setia pada semangat pengabdian.
Dan seperti yang sering ia ulangi: hidup adalah pilihan. Antara maju atau mundur. Antara diam atau bergerak. Dan ia telah memilih—untuk terus berjalan dan bergerak (RED).
Discussion about this post