JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Penolakan ini menguatkan putusan bebas bagi keduanya yang sebelumnya diputuskan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Informasi ini diperoleh dari situs resmi MA melalui kanal penelusuran perkara.
Dalam keterangan di situs tersebut, perkara Fatia Maulidiyanti teregister dengan nomor 5714 K/Pid.Sus/2024 dan Haris Azhar dengan nomor 5712 K/Pid.Sus/2024. Kedua putusan ini dijatuhkan pada 11 September 2024 oleh tiga majelis hakim, yakni Dwiarso Budi Santiarto sebagai ketua, Ainal Mardhiah, dan Sutarjo sebagai anggota majelis.
Kasus ini bermula dari laporan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, ke Polda Metro Jaya. Luhut melaporkan Fatia dan Haris setelah mereka mengungkapkan penelitian mengenai dugaan bisnis militer di Blok Wabu, Papua, melalui podcast di kanal YouTube Haris Azhar. Penelitian tersebut dilakukan oleh sembilan lembaga, termasuk YLBHI, WALHI, dan KontraS.
Persidangan di PN Jakarta Timur berlangsung selama hampir sembilan bulan, sejak pembacaan dakwaan pertama pada April 2023 hingga putusan bebas pada Januari 2024. Majelis Hakim memutuskan bahwa Fatia dan Haris tidak terbukti melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan oleh JPU, yakni melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946.
Menanggapi putusan MA, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) yang menjadi kuasa hukum Fatia dan Haris menyambut baik keputusan tersebut.
“Ditolaknya kasasi ini merupakan kemenangan bagi kebebasan sipil dan perlindungan bagi para pejuang lingkungan yang kerap dikriminalisasi,” ujar TAUD melalui rilis yang diterima Radiant Voice pada Rabu, (25/9/24). TAUD juga menambahkan, “Putusan ini menunjukkan bahwa warga negara berhak menyampaikan kritik terhadap pejabat publik tanpa harus khawatir akan dipidana.”
TAUD juga menekankan bahwa putusan ini seharusnya menjadi acuan bagi aparat penegak hukum untuk segera menyelidiki dugaan pelanggaran hukum terkait aktivitas tambang di Papua yang melibatkan Luhut Binsar Pandjaitan.
“Kami mendesak agar aparat penegak hukum melakukan penyelidikan dan penyidikan yang serius terkait dugaan conflict of interest dalam kasus ini,” kata TAUD.
Menurut TAUD, Luhut dan pihak-pihak terkait yang disebut dalam penelitian tersebut tidak lagi bisa melakukan pelaporan pidana terkait penghinaan. “Mereka tidak dapat lagi melaporkan siapa pun yang menyebut adanya konflik kepentingan,” tegas TAUD yang mengacu pada Pasal 314 KUHP yang menyatakan bahwa pejabat publik tidak dapat melaporkan orang yang mengkritik atau menyebut adanya konflik kepentingan.
TAUD juga berharap putusan ini dapat menjadi yurisprudensi bagi hakim di seluruh tingkat pengadilan dalam menghadapi kasus kriminalisasi terhadap aktivis HAM dan lingkungan hidup. Mereka menyebutkan beberapa kasus serupa, seperti Daniel Fritz Tangkilisan di Karimunjawa, Muhriyono di Pakel, dan Sorbatua Siallagan di Simalungun, yang masih berjuang melawan upaya kriminalisasi.
“Putusan ini semoga menjadi acuan bagi majelis hakim lain untuk berani memutus bebas dalam kasus-kasus serupa,” harap TAUD.
Dengan putusan ini, Fatia dan Haris diharapkan dapat terus memperjuangkan hak asasi manusia dan lingkungan tanpa ancaman kriminalisasi. TAUD mengajak masyarakat untuk mendukung upaya ini dan mendesak aparat penegak hukum untuk serius menindaklanjuti temuan dan rekomendasi yang telah disampaikan.
“Ini adalah kemenangan bagi para pejuang hak asasi manusia dan lingkungan hidup, khususnya di Papua. Kami akan terus mendampingi dan berjuang bersama mereka,” tutup TAUD.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi sendiri terdiri dari Asfinawati, Nurkholis Hidayat, Muhammad Isnur, Arif Maulana, Andi Muhammad Rezaldy, M. Al-Ayubi Harahap (RED).
Discussion about this post