Berbicara tradisi, dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap mendengar kalimat legendaris terhadap perempuan seperti “Perempuan harus bisa memasak, merawat anak, dan mengurus rumah”, “sudah tradisinya”, atau “perempuan tidak pantas melakukan itu”. Kalimat-kalimat ini terdengar ringan, telah menjamur bahkan sering diucapkan tanpa niat menyakiti. Namun, jika direnungkan lebih dalam, ungkapan tersebut menyimpan realitas sosial yang tidak sederhana. Tradisi yang seharusnya menjadi identitas dan nilai luhur masyarakat justru kerap dijadikan alasan untuk membatasi ruang gerak perempuan. Fenomena ini hadir di sekitar kita, di rumah, di lingkungan sosial, bahkan di ruang-ruang pendidikan dan organisasi.
Dari sudut pandang perempuan, persoalan ini bukan sekadar soal peran, tetapi soal keadilan. Banyak perempuan tumbuh dengan tuntutan untuk patuh, sabar, dan mengalah, sementara laki-laki diberi ruang lebih luas untuk memilih, bersuara, dan memimpin. Atas nama tradisi, perempuan diarahkan pada peran domestik seolah itu satu-satunya jalan hidup yang sah. Ketika perempuan ingin melanjutkan pendidikan tinggi, aktif di ruang publik, atau mengambil keputusan atas tubuh dan masa depannya sendiri, ia sering kali dianggap melawan kodrat. Patriarki selalu bisa bersembunyi rapi di balik tradisi, membuat ketimpangan terlihat normal dan sulit dipersoalkan. Contoh kecil dalam kehidupan sebuah rumah tangga yang memiliki anak laki-laki dan perempuan. Orang tua selalu mewajibkan anak perempuan untuk selalu menjaga kebersihan kamarnya. Dan sudah menjadi hal lumrah apabila anak laki-lakinya acuh tak acuh terhadap kebersihan kamarnya.
Perspektif penulis, tradisi dalam konteks ini ibarat karat. Ia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan tumbuh perlahan karena dibiarkan. Karat melekat pada sesuatu yang awalnya kuat, lalu menggerogotinya tanpa disadari. Begitu pula patriarki yang dibalut tradisi. Awalnya mungkin dimaksudkan sebagai tatanan sosial, tetapi karena tidak pernah dikritisi, ia berubah menjadi sistem yang merugikan perempuan. Saya melihat sendiri bagaimana perempuan sering diminta memahami keadaan, sementara laki-laki jarang diminta merefleksikan posisinya. Tradisi akhirnya tidak lagi menjadi warisan nilai, melainkan alat legitimasi kuasa.
Lebih jauh, kondisi ini juga menciptakan beban ganda bagi perempuan. Di satu sisi, perempuan dituntut berkontribusi secara ekonomi dan sosial, namun di sisi lain tetap dibebani tanggung jawab domestik secara penuh. Ketika perempuan lelah atau bersuara, ia dianggap kurang bersyukur dan tidak tahu diri. Beban ini jarang disadari sebagai bentuk ketidakadilan struktural, karena lagi-lagi dibungkus rapi dengan dalih tradisi. Akibatnya, banyak perempuan tumbuh dengan rasa bersalah ketika memilih dirinya sendiri, seolah kebahagiaan perempuan selalu berada di urutan terakhir.
Dalam perspektif nilai Islam, kondisi ini seharusnya menjadi bahan refleksi bersama. Islam hadir membawa misi keadilan dan kemanusiaan, termasuk bagi perempuan. Al-Qur’an menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dengan tanggung jawab yang sama. Prinsip kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh ketakwaan. Namun, dalam praktik sosial, nilai-nilai ini sering kalah oleh tafsir tradisi yang bias. Padahal, membela keadilan perempuan bukanlah melawan agama, melainkan justru menghidupkan nilai-nilai dasar Islam itu sendiri.
Refleksi keperempuanan juga menuntut kita untuk melihat perempuan sebagai subjek, bukan objek tradisi. Perempuan memiliki akal, kehendak, dan potensi yang sama untuk berkembang. Ketika tradisi membungkam suara perempuan, yang terjadi bukanlah harmoni, melainkan ketimpangan yang diwariskan lintas generasi. Kemanusiaan menjadi pincang ketika setengah dari masyarakat terus-menerus diminta menyesuaikan diri dengan sistem yang tidak adil. Oleh karena itu, mengkritisi tradisi bukan berarti menolak budaya, tetapi berupaya membersihkannya dari karat ketidakadilan.
Sebagai kader perempuan dan bagian dari masyarakat, saya meyakini bahwa perubahan selalu dimulai dari kesadaran. Tradisi perlu dibaca ulang, ditimbang dengan nilai keadilan, dan disesuaikan dengan konteks zaman. Tidak semua tradisi harus dipertahankan tanpa kritik, terutama jika ia melanggengkan penindasan. Perempuan berhak bertanya, berpendapat, dan menentukan jalan hidupnya tanpa dicap durhaka atau melawan adat. Ruang-ruang diskusi, pendidikan, dan organisasi seperti Kohati menjadi penting sebagai wadah menyuarakan kegelisahan ini sekaligus melahirkan kesadaran kolektif.
Pada akhirnya, harapan saya sederhana namun mendasar. Sudah saatnya masyarakat berani mengikis karat patriarki yang membalut tradisi. Tradisi harus kembali menjadi sarana memuliakan manusia, bukan alat membatasi perempuan. Diperlukan keberanian kolektif untuk merefleksikan kebiasaan lama dan membangun relasi yang lebih adil. Perempuan tidak meminta keistimewaan, melainkan keadilan. Dengan demikian, perempuan dapat tumbuh sebagai manusia seutuhnya didengar suaranya, dihargai pilihannya, dan diakui perannya dalam membangun masyarakat yang lebih manusiawi. (RED).
Penulis: Vivin Nurfaida (Kader HMI Cabang Surabaya)































Discussion about this post