Oleh: Septriadi Santoso*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Dalam ketegangan panjang antara pemerintah dan media, jarang sekali publik melihat dengan jernih apa yang sebenarnya terjadi. Terutama ketika suara yang paling keras justru berasal dari mereka yang paling mahir membentuk opini. Perseteruan antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Tempo adalah bukti telanjang betapa kuatnya permainan narasi dapat mengaburkan fakta. Ketika seorang menteri memilih jalur hukum untuk mencari kebenaran, langkah itu justru dibalik seolah-olah sebagai serangan terhadap kebebasan pers. Padahal substansi sesungguhnya jauh lebih sederhana: kebenaran ingin diuji, namun pihak yang diberi kesempatan diuji justru memilih memainkan drama pembreidelan.
Gugatan lebih dari 200 miliar rupiah yang diajukan Mentan Amran bukanlah reaksi emosional, apalagi usaha untuk membungkam kritik. Gugatan itu muncul setelah pihaknya menilai PPR Dewan Pers menunjukkan bahwa pemberitaan Tempo bermasalah. Ketika mekanisme etik sudah ditempuh namun tetap diabaikan, wajar jika jalur hukum menjadi ruang berikutnya. Pengadilan adalah ruang paling terbuka untuk menguji data, dokumen, dan integritas. Tidak ada yang ditutup. Tidak ada yang dilarang. Tidak ada bredel. Namun Tempo dan AJI memilih memutar langkah hukum itu menjadi narasi bahwa pers sedang ditindas.
Sebagai pengamat komunikasi, saya melihat pola yang sangat jelas: Tempo dan AJI sedang memainkan kartu korban. Alih-alih menjawab substansi PPR Dewan Pers, mereka menggeser perdebatan dari soal akurasi menjadi soal kebebasan pers. Mereka memindahkan sorotan dari kewajiban akuntabilitas menjadi dramatisasi penindasan. Dengan satu diksi bernama “pembreidelan”, mereka mencoba menggiring publik agar percaya bahwa mereka sedang dikejar-kejar oleh kekuasaan, padahal tidak ada satu pun hak mereka yang dicabut.
Dan di tengah arus framing itulah muncul luka terdalam, bukan pada pejabat, bukan pada kementerian, tetapi pada 160 juta petani Indonesia dan seluruh pegawai sektor pangan. Luka itu muncul ketika Tempo merilis infografis “poles-poles beras busuk” dengan gambar karung berlubang penuh kecoa. Infografis yang mungkin dimaksudkan sebagai satire itu berubah menjadi penghinaan paling kasar terhadap para petani yang menghabiskan hidupnya untuk memastikan bangsa ini tidak kelaparan.
Untuk para petani, gambar itu bukan sekadar ilustrasi. Itu adalah penyangkalan terhadap martabat mereka. Beras yang mereka hasilkan dari hasil keringat, luka tangan, dan malam-malam panjang menjaga sawah dari hama, digambarkan seolah-olah busuk. Seolah hasil kerja mereka tak layak makan. Seolah apa yang mereka berikan kepada bangsa ini hanyalah sampah dan bangkai. Tidak ada satire yang bisa membenarkan visualisasi yang merendahkan seperti itu.
Di ruang redaksi ber-AC, mungkin infografis itu tampak kreatif. Tetapi di sawah, di gudang gabah, di kantor penyuluh, dan di lorong-lorong kerja pegawai Kementan, infografis itu menjadi tamparan keras. Mereka yang bekerja tanpa sorotan publik, yang bangun lebih pagi dari siapa pun dan pulang paling akhir merasa dilecehkan. Mereka bukan birokrat malas. Mereka bukan petani yang tidak tahu apa-apa. Mereka adalah tulang punggung pangan negeri ini. Ketika mereka digambarkan seolah-olah memoles beras busuk penuh kecoa, itu bukan kritik. Itu penghinaan.
Dan penghinaan itu menjadi semakin menyakitkan ketika pihak yang membuatnya tidak bersedia diuji kebenarannya. Ketika PPR Dewan Pers muncul, mereka tidak fokus pada substansi. Ketika gugatan diajukan untuk menguji data secara fair, mereka berteriak “pembreidelan”. Ketika pemerintah membela petani, mereka memutarbalikkannya sebagai ancaman terhadap kebebasan media. Padahal yang paling terancam bukanlah pers, melainkan kebenaran itu sendiri.
Kita harus berani mengatakan hal ini dengan jujur: Tempo dan AJI sedang menempatkan diri di atas kritik. Mereka ingin bebas menyerang, tetapi tidak mau diperiksa. Mereka ingin demokrasi berjalan, tetapi mereka tidak ingin menjalani bagian demokrasi yang paling mendasar—yakni akuntabilitas. Mereka memanfaatkan istilah “kebebasan pers” bukan sebagai prinsip luhur, melainkan sebagai perisai untuk menolak pertanggungjawaban.
Padahal dalam demokrasi sejati, media tidak boleh kebal. Kritik terhadap media bukanlah pembungkaman. Gugatan terhadap pemberitaan bukanlah bredel. Justru itu cara paling elegan untuk meluruskan informasi: bukan dengan membalas tulisan, bukan dengan mengancam, tetapi dengan mempersilakan pengadilan membuka fakta seterang-terangnya.
Di sektor pangan, pemerintah melaksanakan program-program strategis: pompanisasi, optimasi lahan, pencetakan sawah, penurunan harga pupuk, deregulasi distribusi, kenaikan HPP, serta bantuan alsintan dan saprodi. Hasilnya mulai terlihat di lapangan. Namun di tengah upaya ini, disinformasi bekerja seperti hama. Ia masuk pelan, menggigit persepsi, dan mengacaukan opiní publik—lebih merusak dibanding tikus sawah karena yang dihancurkannya bukan tanaman, tetapi kepercayaan.
Dan ketika infografis Tempo memperlihatkan beras penuh kecoa, itulah titik di mana disinformasi berubah menjadi penghinaan moral. Bukan hanya pada pemerintah, tetapi pada seluruh petani Indonesia. Pada titik itu pula langkah Amran menggugat bukan lagi sekadar persoalan hukum—tetapi sebuah sikap moral untuk membela harga diri mereka yang selama ini memberi makan bangsa.
Inilah yang seharusnya dipahami:
Ketika seorang menteri memilih mencari kebenaran, itu bukan pembreidelan. Yang menjadi bredel justru kebenaran itu sendiri ketika narasi diputarbalikkan.
Demokrasi tidak akan runtuh karena sebuah gugatan.Tetapi demokrasi bisa runtuh ketika media menolak diuji, menolak bertanggung jawab, dan menolak menghadapi kebenaran.
Ketika kebohongan berlindung di balik kata “bredel”, di situlah akal sehat bangsa harus berdiri dan berkata: CUKUP.
Dan hari ini, keberanian itu ditunjukkan oleh Mentan Amran—bukan untuk dirinya, tetapi untuk petani, untuk pegawai sektor pangan, dan untuk martabat sebuah bangsa yang hidup dari keringat di sawah.
*Penulis adalah Jurnalis Independen































Discussion about this post