Oleh : Syamsul Qomar*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Salah satu tonggak sejarah penting lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia adalah Hari Sumpah Pemuda, sebuah tonggak sejarah yang menandai tumbuhnya kesadaran kolektif anak muda Indonesia akan pentingnya persatuan. Sembilan puluh enam tahun telah berlalu sejak para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara mengikrarkan tiga pilar penting yang menunjukkan eksistensi negara bangsa Indonesia, yaitu : bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Setiap tahun bangsa ini memperingatinya secara hidmat dengan perasaan yang sangat takjub akan kiprah dan peran para pemuda. Ditengah penindasan penjajah, para pemuda dari seantero Nusantara, memiliki keberanian dan heroisme untuk berkumpul, berdiskusi dalam apa yang mereka sebut sebagai Kerapatan Pemuda-Pemuda Indonesia, yang sekarang kita kenal sebagi kongres pemuda II. Setiap tahun kita membacakan ikrar sumpah pemuda, semuanya seolah menegaskan bahwa semangat persatuan masih hidup.
Sumpah Pemuda bukan hanya sejarah tentang keberanian kolektif, tetapi juga cermin tentang bagaimana bangsa ini selalu lahir dari kegelisahan. Bangsa Indonesia tidak lahir dari ketenangan, melainkan dari kegelisahan intelektual, dari keresahan moral, dari perjumpaan antara cita-cita dan kenyataan yang belum seimbang. Dan tugas setiap generasi adalah memelihara kegelisahan itu, bukan menekannya. Karena hanya dengan gelisah, manusia dapat berpikir; dan hanya dengan berpikir, bangsa bisa berubah.
Sumpah Pemuda bukanlah peristiwa seremonial. Ia lahir dari kegelisahan dan kesadaran kolektif generasi muda terhadap kenyataan bahwa bangsa ini tidak akan pernah merdeka jika tetap terpecah oleh sekat identitas. Para pemuda 1928 bukan hanya bermimpi tentang Indonesia, mereka menemukan Indonesia — sebuah gagasan yang belum ada sebelumnya. Ikrar sumpah pemuda bukan sekadar slogan, tetapi pernyataan eksistensial tentang kemanusiaan yang melampaui kepentingan sempit dan ego kedaerahan.
Namun, di balik simbol dan seremoni itu, ada pertanyaan yang tak pernah benar-benar kita jawab: apakah Sumpah Pemuda masih hidup di dalam kesadaran kita, atau hanya tersisa sebagai gema sejarah yang kehilangan makna di tengah kebisingan zaman digital? Sejatinya makna dari ikrar itu tidak boleh berhenti sebagai seremonial tahunan; ikrar itu adalah pesan moral yang harus kita renungkan dan hidupkan kembali dalam konteks zaman ini.
Kita sering berbicara tentang pentingnya “mencintai Indonesia.” Namun cinta yang sejati kepada bangsa tidak diukur dari seberapa keras kita berteriak “NKRI harga mati,” melainkan dari seberapa sungguh-sungguh kita ingin memperbaiki hal-hal yang membuat Indonesia belum sepenuhnya adil dan manusiawi. Cinta yang tidak melahirkan kritik hanyalah retorika. Justru kritik adalah bentuk tertinggi dari cinta, sebagaimana para pemuda 1928 mengkritik realitas bangsanya demi lahirnya Indonesia yang merdeka.
Dari Krisis Menuju Pada kesadaran
Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, Sumpah Pemuda menantang kita untuk menghidupkan kembali etos keberanian moral. Berani jujur di tengah kemunafikan sosial. Berani peduli di tengah individualisme. Berani berpikir sendiri ketika banyak orang memilih untuk ikut arus. Semangat itu tidak membutuhkan massa yang banyak; cukup sekelompok kecil anak muda dengan integritas dan kesadaran sejarah. Dari sanalah perubahan selalu dimulai.
Sejarah membuktikan bahwa bangsa besar bukanlah bangsa yang bebas dari krisis, melainkan bangsa yang mampu mengubah krisis menjadi kesadaran. Dan kesadaran itu selalu lahir dari pemudanya. Dari mereka yang belum sepenuhnya terikat oleh kepentingan, dan masih cukup idealis untuk percaya bahwa dunia bisa dibuat lebih baik. Sumpah Pemuda tidak akan kehilangan maknanya selama masih ada anak muda yang gelisah terhadap ketimpangan, berani mempertanyakan arah bangsa, dan mau berbuat sesuatu — sekecil apa pun — demi kebaikan bersama.
Pendek kata, peringatan Sumpah Pemuda bukan sekadar upacara untuk menatap masa lalu. Ia adalah panggilan untuk membentuk masa depan. Karena pada akhirnya, persatuan yang diikrarkan pada 1928 itu bukan sekadar perjanjian di atas kertas, melainkan janji antargenerasi: bahwa setiap anak muda, kapan pun ia lahir, punya kewajiban moral untuk menjaga api kebangsaan agar tidak padam di tengah gelapnya zaman.
Disinilah pentingnya kita perlu melakukan revitalisasi makna hari sumpah pemuda. Sumpah Pemuda lahir dari semangat keberanian untuk melampaui sekat-sekat identitas kedaerahan, agama, dan status sosial. Para pemuda saat itu tidak hanya bermimpi tentang kemerdekaan, tetapi juga menyiapkan diri menjadi tulang punggung perubahan. Mereka sadar bahwa masa depan bangsa tidak akan berubah jika pemudanya pasif dan terpecah.
Sumpah Pemuda adalah pengingat bahwa bangsa ini pernah dilahirkan oleh imajinasi dan keberanian anak muda. Pertanyaannya: apakah kita masih memiliki imajinasi yang sama hari ini? Apakah kita berani memimpikan Indonesia yang lebih adil, lebih terbuka, dan lebih beradab, meskipun dunia tampak semakin sinis?
Jika jawabannya ya, maka setiap langkah kecil kita — dari menulis, berkarya, hingga berani bersuara — adalah reaktualisasi makna dari Sumpah Pemuda itu sendiri. Sebab bersumpah menjadi satu bangsa bukan sekadar mengucapkan kata, tetapi menepatinya dalam tindakan. Dan di situlah makna sejati Hari Sumpah Pemuda: bukan tentang masa lalu yang heroik, tetapi tentang masa depan yang layak diperjuangkan. Refleksi atas Sumpah Pemuda tidak berhenti pada seruan moral atau nostalgia sejarah. Ia seharusnya menjadi momentum untuk bertanya: apa makna menjadi “pemuda” di negeri yang sudah merdeka tetapi belum sepenuhnya adil?
Menjadi pemuda Indonesia hari ini berarti hidup di tengah kontradiksi. Di satu sisi, kita diwarisi narasi besar tentang kebebasan, kemajuan, dan persatuan. Namun di sisi lain, kita menyaksikan bagaimana cita-cita itu kerap ditelikung oleh realitas: korupsi yang tak kunjung hilang, politik yang dangkal, birokrasi yang mempersulit kreativitas, serta kesenjangan sosial yang membuat sebagian besar pemuda tidak punya ruang untuk tumbuh. Di hadapan kenyataan itu, semangat Sumpah Pemuda bukan lagi sekadar kebanggaan, tetapi juga tanggung jawab eksistensial — bagaimana menegakkan nilai persatuan di tengah sistem yang sering kali memecah belah.
Kita tidak bisa berharap Sumpah Pemuda menjadi dokumen suci yang menjaga kita selamanya. Ikrar itu harus terus diterjemahkan ulang oleh setiap generasi, dalam konteks tantangan yang mereka hadapi. Jika dulu makna “satu bahasa” adalah bahasa persatuan untuk melawan penjajahan, mungkin kini “satu bahasa” berarti keberanian untuk berbicara jujur di tengah budaya kepura-puraan. Jika dulu “satu bangsa” berarti melawan penjajah, maka kini “satu bangsa” berarti menolak sikap anti-kritik dan intoleransi yang diam-diam tumbuh di antara kita.
Refleksi Sumpah Pemuda mengingatkan kita bahwa nasionalisme bukan sekadar simbol, melainkan Tindakan, keberanian untuk jujur di tengah kemunafikan, integritas di tengah korupsi, dan solidaritas di tengah kesenjangan. Kita perlu meneladani semangat mereka bukan dengan mengulang kata-kata sumpah, tetapi dengan menghidupkan nilai-nilainya dalam keseharian: bekerja dengan etos, belajar dengan tekun, berinovasi dengan nurani, dan berjuang tanpa pamrih.
Sumpah Pemuda seharusnya menjadi cermin untuk menilai ulang bagaimana generasi kini memaknai persatuan. Apakah persatuan itu hanya berarti ikut arus mayoritas dan menolak perbedaan suara? Ataukah justru keberanian untuk tetap berpikir kritis, menjaga integritas, dan mencari titik temu di tengah perbedaan? Generasi 1928 memulai persatuan dengan dialog, bukan dengan kebencian. Mereka berdebat keras, tetapi tetap memiliki tujuan yang sama: membangun masa depan bersama.
Kepekaan Moral dan Kesadaran Sosial
Generasi muda hari ini sering disebut generasi paling terdidik dan paling terkoneksi dalam sejarah Indonesia. Tetapi pendidikan dan koneksi saja tidak cukup. Yang kita butuhkan adalah kepekaan moral dan kesadaran sosial. Karena pendidikan tanpa nilai hanya melahirkan kecerdasan yang dingin, dan koneksi tanpa empati hanya melahirkan narsisme digital. Indonesia tidak hanya membutuhkan pemuda yang cerdas, tetapi juga yang berani. Tidak hanya yang pandai berbicara, tetapi juga yang bersedia bekerja dalam senyap. Tidak hanya yang bangga akan masa lalu, tetapi yang siap memperjuangkan masa depan.
Dan jika nilai-nilai itu masih hidup di hati kita, maka Sumpah Pemuda tidak pernah benar-benar berjarak hampir seabad yang lalu. Ia hidup di sini — di dalam kesadaran, di dalam tindakan, di dalam harapan setiap anak muda yang masih percaya bahwa Indonesia, betapa pun rumitnya, tetap layak untuk diperjuangkan.
Semangat Sumpah Pemuda mengajak kita untuk membangun bangsa tidak hanya dengan akal, tetapi juga dengan nurani. Bangsa ini tidak akan tumbuh jika anak mudanya hanya berkompetisi untuk diri sendiri. Kita membutuhkan generasi yang mau berkolaborasi, bukan sekadar berlomba. Generasi yang tidak takut kalah, karena yang mereka perjuangkan bukan reputasi pribadi, tetapi kemajuan bersama.
Tantangan terbesar kita adalah mengembalikan makna “bersatu” sebagai tindakan politik dan kultural, bukan sekadar simbol nasionalisme. Bersatu berarti membuka ruang bagi perbedaan, menolak diskriminasi, menolak politik kebencian, dan berani memperjuangkan keadilan sosial meskipun itu tidak populer. Sumpah Pemuda tidak akan kehilangan maknanya selama masih ada anak muda yang gelisah terhadap ketimpangan, berani mempertanyakan arah bangsa, dan tidak takut untuk berbuat sesuatu, meski kecil, demi kebaikan bersama.
Krisis utama pemuda Indonesia saat ini bukanlah kekurangan ide, melainkan kehilangan arah moral dan kompas kebangsaan. Kita melihat banyak anak muda yang cerdas dan kreatif, tetapi terjebak dalam kompetisi simbolik — mengejar citra, bukan makna. Padahal, inti dari semangat Sumpah Pemuda adalah keberanian untuk berpihak kepada nilai, bukan hanya kepada kepentingan.
Menjadi “pemuda Indonesia” hari ini bukan berarti sekadar bangga mengenakan batik atau menulis unggahan bertema nasionalisme setiap Oktober. Ia berarti menghidupkan kembali etika publik: bekerja dengan jujur, berpikir dengan nalar, dan berani bersuara terhadap ketidakadilan. Nasionalisme tidak tumbuh dari seragam atau slogan, melainkan dari tindakan sehari-hari yang mempertahankan keutuhan sosial dan moral bangsa.
Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah, ikrar itu adalah tugas yang belum selesai. Dalam konteks dunia yang semakin kompleks, semangat itu menuntut bentuk baru: solidaritas digital, aktivisme lingkungan, gerakan literasi, dan pembelaan terhadap kelompok rentan. Persatuan yang dulu diwujudkan dalam satu bahasa, kini harus diwujudkan dalam satu kesadaran: bahwa masa depan Indonesia hanya bisa dibangun jika setiap anak mudanya peduli pada sesamanya dan berani berpikir melampaui dirinya sendiri.
Kini, tantangan para pemuda berbeda, tetapi esensinya sama: bagaimana menjaga persatuan dalam keberagaman di tengah derasnya arus disinformasi, polarisasi, dan kompetisi global. Menjadi pemuda Indonesia hari ini berarti tidak hanya bangga terhadap identitas nasional, tetapi juga bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan sosial, berkontribusi nyata, dan berpikir kritis terhadap masalah bangsa.
Setelah sembilan puluh enam tahun kemudian, konteksnya berubah, namun esensinya tetap sama: bangsa ini masih terancam oleh fragmentasi, hanya saja dalam bentuk yang lebih halus. Kita tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, tetapi oleh algoritma media sosial, polarisasi opini, dan ego digital yang menggerus empati. Kita saling terhubung, namun jarang benar-benar terhubung secara batin. Dalam dunia yang serba cepat dan riuh, kita kehilangan ruang untuk berpikir pelan dan mendengar secara dalam, pesan yang kita terima.
Jika dulu para pemuda melawan penjajahan dengan tinta dan kata, kini kita melawan penjajahan dengan nalar dan kesadaran. Tantangannya lebih halus, tapi tidak kalah berbahaya. Karena penjajahan yang paling mengerikan bukan datang dari bangsa lain, melainkan dari sikap apatis dan kehilangan idealisme di dalam diri kita sendiri.
Pemuda Indonesia kini memiliki peluang luar biasa. Mereka hidup di era terbuka, di mana inovasi, gagasan, dan solidaritas dapat muncul dari mana saja. Namun kesempatan itu akan sia-sia jika tidak diiringi oleh tanggung jawab moral. Perjuangan masa kini tidak lagi mengangkat senjata, melainkan menegakkan keadilan sosial, memperjuangkan kesetaraan gender, melestarikan lingkungan, melawan korupsi, dan menolak intoleransi. Inilah medan perjuangan baru yang menuntut keberanian yang sama besar seperti generasi 1928.
Generasi muda hari ini sering disebut paling terdidik dan terkoneksi dalam sejarah Indonesia. Tetapi di balik kecerdasan itu, ada tanda-tanda kelelahan makna. Kita mudah terpesona oleh popularitas, tapi sulit bertahan dalam kedalaman. Kita menulis banyak hal di media sosial, tapi jarang merenungkan apa yang kita tulis. Dalam situasi seperti ini, Sumpah Pemuda seharusnya menjadi pengingat bahwa nasionalisme sejati bukanlah kebanggaan kosong, melainkan tanggung jawab moral.
Sumpah Pemuda 1928 adalah hasil perjumpaan gagasan lintas daerah, agama, dan latar sosial. Mereka berdebat keras, tetapi tidak bermusuhan. Mereka berbeda pandangan, tetapi tidak saling meniadakan. Persatuan lahir bukan dari keseragaman, melainkan dari kesadaran bersama bahwa perbedaan adalah kekuatan. Semangat seperti ini terasa langka di era ketika percakapan publik dibentuk oleh algoritma yang memperkuat polarisasi dan menyingkirkan keragaman opini.
Kita menghadapi penjajahan baru — penjajahan oleh keinginan untuk selalu benar, oleh kesombongan intelektual, oleh kenyamanan yang membuat kita malas berpikir. Sumpah Pemuda hari ini mungkin berarti perjuangan untuk tetap waras di tengah kegaduhan informasi dan tetap peduli di tengah budaya acuh tak acuh.
Nasionalisme sebagai Kesadaran Moral
Kita perlu menolak pandangan bahwa nasionalisme sudah usang, atau bahwa idealisme hanya milik masa lalu. Justru di era globalisasi, nasionalisme harus dimaknai ulang: bukan dengan menutup diri, tetapi dengan menjaga martabat bangsa di tengah dunia yang saling terhubung. Nasionalisme hari ini berarti mampu bersaing secara global tanpa kehilangan akar budaya dan etika. Ia bukan tentang membanggakan simbol-simbol lama, tetapi tentang menghadirkan nilai-nilai luhur dalam tindakan yang relevan dengan zaman.
Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa persatuan tidak pernah lahir dari keseragaman, melainkan dari keberanian untuk menghargai perbedaan. Di era ketika polarisasi politik semakin tajam dan media sosial menjadi arena saling serang, nilai itu terasa sangat relevan. Kita perlu belajar lagi dari para pemuda 1928: bahwa dialog lebih berharga daripada ejekan, dan bahwa semangat membangun lebih penting daripada keinginan menjatuhkan.
Menjadi pemuda Indonesia di abad ke-21 bukan sekadar mengenakan batik setiap Oktober atau mengunggah foto dengan tagar #SumpahPemuda. Ia berarti menghadirkan kembali etika publik dalam keseharian: bekerja dengan jujur, berpikir dengan nalar, dan berani bersuara untuk keadilan sosial. Nasionalisme bukan lagi tentang simbol, tetapi tentang kesadaran moral, tentang sikap — keberanian untuk melawan ketidakadilan meski sendirian, dan kesediaan untuk berkolaborasi meski berbeda pandangan.
Pemuda 1928 bersatu melawan penjajahan. Pemuda hari ini mesti bersatu melawan apatisme, intoleransi, dan korupsi moral yang perlahan menggerogoti bangsa dari dalam. Mereka berjuang dengan pidato dan pena, kita harus berjuang dengan kesadaran dan aksi nyata.
Krisis terbesar generasi muda Indonesia bukanlah kemiskinan ide, melainkan kehilangan arah moral. Kita punya banyak pengetahuan, tapi kurang kebijaksanaan. Kita pandai menciptakan konten, tapi jarang menciptakan makna. Di sinilah Sumpah Pemuda menjadi relevan kembali, sebagai ajakan untuk menyatu bukan karena sama, tetapi karena sadar bahwa masa depan hanya bisa dibangun bersama.
Generasi muda Indonesia hidup dalam paradoks: serba bebas, tapi sering kehilangan arah; serba cepat, tapi jarang berhenti untuk berpikir. Kita terkoneksi, tapi tidak selalu terhubung. Kita ramai di ruang digital, tapi sering sunyi dalam percakapan yang bermakna. Dalam situasi inilah semangat Sumpah Pemuda diuji: apakah kita masih mampu menghidupkan nilai-nilai persatuan, tanggung jawab, dan kepedulian dalam dunia yang menormalisasi keterpecahan?
Bangsa ini tidak membutuhkan pemuda yang sempurna, tetapi pemuda yang sadar, sadar bahwa sejarah tidak hanya untuk dikenang, tetapi untuk dilanjutkan; sadar bahwa menjadi Indonesia berarti terus berjuang di tengah ketidakpastian; sadar bahwa nasionalisme tidak cukup diucapkan, tetapi harus diwujudkan dalam solidaritas dan keadilan sosial.
Kita harus berani bertanya ulang: apa artinya bersatu di zaman yang retak? Apa artinya berbahasa satu jika percakapan publik dipenuhi kebencian? Apa artinya berbangsa satu jika sebagian anak mudanya merasa tidak punya tempat di tanah airnya sendiri?
Cinta kepada Indonesia tidak diukur dari seberapa keras kita meneriakkan slogan, melainkan dari seberapa jujur kita ingin memperbaiki luka-lukanya. Kritik yang lahir dari kasih sayang lebih mulia daripada pujian yang menutupi kenyataan. Dalam arti itu, setiap anak muda yang berani berpikir kritis dan bertindak jujur sesungguhnya sedang menghidupkan kembali Sumpah Pemuda dengan caranya sendiri.
Janji Yang Harus Diperjuangkan
Maka biarlah Hari Sumpah Pemuda bukan sekadar tanggal di kalender, tetapi menjadi cermin bagi nurani bangsa. Cermin untuk bertanya: apakah kita masih setia pada cita-cita persatuan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata? Atau kita perlahan berubah menjadi generasi yang nyaman dalam perpecahan, sibuk menuding tapi lupa menanggung?
Karena sejatinya, sumpah itu bukan hanya warisan 1928. Ia adalah janji antargenerasi, bahwa setiap anak muda yang lahir di bumi Indonesia mewarisi tanggung jawab untuk menjaga persatuan bukan dengan kata, tetapi dengan tindakan. Kita tidak memerlukan jutaan pemuda yang sempurna. Cukup segelintir yang berani berpikir jernih di tengah kebisingan, berani jujur di tengah kemunafikan, dan berani peduli di tengah keterasingan sosial. Karena seperti kata Bung Karno, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Hari ini, pertanyaannya bukan lagi apakah kita punya sepuluh pemuda seperti itu —
tetapi apakah kita berani menjadi salah satunya.
Semangat 1928 adalah semangat dialog, bukan dominasi. Semangat mendengar, bukan hanya berbicara. Semangat membangun ruang bersama, bukan menegakkan tembok perbedaan. Dalam konteks sekarang, mungkin Sumpah Pemuda harus dibaca ulang: “Kami, putra dan putri Indonesia, bersumpah untuk berpikir jernih di tengah kebisingan, bersuara jujur di tengah kepalsuan, dan bekerja bersama di tengah perbedaan.”
Sumpah itu bukan sekadar warisan, tetapi tugas moral, yang menuntut kita untuk tidak puas dengan keadaan, untuk terus mempertanyakan, memperbaiki, dan memperjuangkan yang belum selesai. Karena Indonesia tidak hanya dibangun oleh tangan-tangan yang bekerja, tetapi juga oleh hati yang tidak lelah berharap. Semoga semangat Sumpah Pemuda terus menjadi nyala yang menuntun langkah generasi muda Indonesia, agar tidak hanya mewarisi kemerdekaan, tetapi juga memaknai ulang arti persatuan dalam zaman yang terus berubah.
Akhirnya, memperingati Hari Sumpah Pemuda seharusnya bukan hanya soal nostalgia, tetapi soal tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjadikan Indonesia bukan sekadar kata dalam buku sejarah, melainkan makna yang lebih hakiki, sebuah cita-cita yang hidup di dalam diri kita masing-masing. Menghidupkan kembali roh keberanian yang sama di tengah realitas abad ke-21. Sebab bangsa ini tidak dibangun oleh mereka yang pandai mengenang, tetapi oleh mereka yang berani menafsirkan ulang dan bertindak. Dan pada akhirnya, sumpah itu akan tetap hidup — selama masih ada pemuda yang percaya bahwa Indonesia bukan sekadar warisan, melainkan janji yang harus terus diperjuangkan (red)
*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Majelis Nasional KAHMI































Discussion about this post