Oleh : Venus Upadhayaya*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Ekonomi gig global mempekerjakan hampir 200 juta orang melalui perusahaan berbasis platform digital seperti Uber, Food Panda, Zomato, Oyo, dan lainnya. Penting juga dicatat bahwa sebagian besar pekerjaan gig berlangsung diam-diam di media sosial seperti WhatsApp, WeChat, dan Facebook. Di sinilah ekonomi gig kerap terkait dengan gejolak publik setiap kali ada larangan media sosial.
Karena itu, ketika Nepal melarang 26 platform media sosial pada 4 September setelah ultimatum sepekan, dampaknya tidak hanya soal kebebasan berbicara dan pers. Larangan itu juga memukul sumber penghidupan dan pekerjaan, terutama di negara di mana 6,7 persen PDB nasional berasal dari pariwisata, yakni lebih dari 2 miliar dolar AS. Protes yang pecah menjadi bukti bahwa sektor pekerjaan gig sudah diam-diam mengakar di Nepal.
Menurut Nepal Economic Forum, industri pariwisata di negara Himalaya itu menjadi salah satu yang pertama memanfaatkan meluasnya jangkauan media sosial,
“Bagi kami, media sosial dulu adalah alat komunikasi yang sangat populer. Sekarang itu hilang, dan situasinya seperti mimpi buruk,” kata Jiban Ghimire, Direktur Utama Shangri-La Nepal Trek, kepada The New York Times setelah pecahnya protes. “Tanpa komunikasi, tidak ada bisnis,”imbuhnya.
Anehnya, meski larangan media sosial disebut sebagai pemicu protes dan para analis ramai membahas bagaimana algoritma memengaruhi sentimen publik hingga menimbulkan keresahan, hampir tidak ada analisis yang menyoroti bagaimana ekonomi gig berbasis media sosial sebenarnya bisa menjadi alasan utama.
Discussion about this post