Oleh: Eva K Sundari*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Ada satu fenomena hiburan yang memunculkan perdebatan hangat di Jatim: Sound Horeg. Di balik dentuman suara musik yang mengguncang dada, memekakkan telinga, memecahkan kaca, dan merontokkan genteng, tersembunyi ancaman nyata berupa kerusakan sosial, spiritual, dan psikologis yang bersifat seketika yang dialami, baik oleh korban maupun penyelenggara.
Bagi para penyuka, Sound Horeg adalah pesta musik dengan dentuman bass yang memicu euforia. Para perempuan berseragam seksi berbaris menari sambil menerima saweran penonton sepanjang jalan.
Suara yang memekakkan telinga (120 dB) dianggap simbol “kemeriahan”, menunjukkan eksistensi, bahkan sarana ekonomi bagi penyelenggara. Para perempuan dan bayi-bayi mereka kehilangan ruang nyaman sehingga sering para ibu muda memilih menyingkir menjauh untuk menyelamatkan gendang telinga bayi mereka.
Hiburan yang Menjadi Teror
Bagi penikmatnya, dentuman musik dianggap memicu semangat. Tapi bagi warga sekitar, terutama lansia, anak kecil, atau orang yang sedang sakit, ini menjadi sumber stres yang nyata. Gangguan tidur, sakit kepala, kecemasan, hingga tekanan darah tinggi adalah efek langsung yang telah dibuktikan oleh riset kesehatan terkait kebisingan di atas 85 dB.
Lebih dari sekadar polusi suara, Sound Horeg dalam durasi panjang dan tanpa pengaturan waktu adalah pelanggaran hak atas rasa aman. Hak ini adalah bagian dari kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana ditekankan dalam Sila Kedua Pancasila.
Fenomena Sound Horeg ini unik karena kerusakan tidak hanya terjadi pada korban, tetapi juga pada pelakunya. Korban mengalami stres, rasa tak berdaya, dan ketegangan sosial. Mereka sering merasa tidak mampu melawan karena penyelenggara yang punya dukungan massa atau otoritas lokal. Lama-kelamaan, muncul learned helplessness—sikap pasrah terhadap ketidakadilan karena merasa protes tidak ada gunanya.
Bagi pelaku/penyelenggara yang tahu dampak tersebut, mereka juga korban dari pola egoisme. Kesenangan pribadi atau kelompok lebih diutamakan daripada kenyamanan orang lain. Empati terhadap penderitaan sekitar terkikis, dan mereka cuek saja melakukan pelanggaran aturan, misalnya melanggar jam malam atau batas kebisingan dianggap wajar.
Kedua belah pihak sebenarnya sama-sama kehilangan sesuatu: korban kehilangan ketenangan, pelaku kehilangan kepekaan hati. Ini adalah kerusakan spiritual dua arah, dan menjadi konyol ketika pemerintah membiarkannya. Meskipun MUI setempat mengharamkan, Gubernur Jatim membolehkan dengan syarat tidak berisik, tetapi tanpa detail pengaturan.
Keretakan Sosial yang Mengintai
Di banyak wilayah, Sound Horeg telah memicu konflik antarwarga. Ada yang sampai saling bermusuhan, bahkan berkelahi. Sumbernya sederhana: hiburan satu pihak menjadi siksaan pihak lain.
Dalam masyarakat yang sehat, gotong royong dan saling menghormati menjadi perekat. Tetapi kebisingan yang berlebihan memutus perekat itu, menciptakan polarisasi “pro” dan “kontra” yang tajam.
Ironisnya, acara yang dimaksudkan untuk membangun kebersamaan justru menjadi sumber perpecahan. Ini jelas bertentangan dengan Sila Persatuan Pancasila.
Dari kacamata Feminisme Pancasila, Sound Horeg memiliki dimensi gender yang sering diabaikan. Banyak acara Sound Horeg disertai dengan pertunjukan joget atau tarian perempuan dengan pakaian minim dan terbuka. Perempuan kerap menjadi objek tontonan, bukan subjek yang berdaulat.
Selain itu, perempuan terutama ibu rumah tangga, sering menjadi pihak yang paling menderita akibat kebisingan. Mereka harus menenangkan anak yang menangis, merawat anggota keluarga yang sakit, atau tetap bekerja di tengah polusi suara. Hanya saja, pertunjukan hiburan yang patriarkal ini mengabaikan kepentingan para ibu, anak-anak, dan lansia ini.
Sepatutnya ada kesetaraan partisipasi dalam menentukan bentuk hiburan yang layak, aman, dan menghormati martabat semua pihak. Aspirasi para ibu sepatutnya dijadikan pertimbangan dalam menyikapi keberadaan pertunjukan Sound Horeg.
Para perempuan, sebagai madrasah keluarga, memprihatinkan kerusakan spiritual sebagai dampak Sound Horeg. Bukan sekadar soal agama, melainkan hilangnya kesadaran akan nilai-nilai luhur yang menjadi pondasi kehidupan bersama.
Bagi korban, marah dan benci yang berlarut mengikis kemampuan untuk sabar dan memaafkan. Bagi pelaku, kebiasaan mengabaikan kenyamanan orang lain mengikis empati dan menguatkan nafsu untuk berkuasa atas ruang publik.
Dalam bahasa sederhana, Sound Horeg mengikis “rasa” termasuk rasa malu, rasa hormat, rasa peduli. Ketika rasa-rasa ini hilang, masyarakat menjadi kering, meski musiknya menggelegar. Hilangnya “rasa” ini ibarat Orang Jawa kehilangan Jawanya kata Joyoboyo.
Solusi: Mengubah, Bukan Memusnahkan
Sound Horeg tidak harus dihapuskan sepenuhnya. Musik adalah bagian penting dari budaya dan kebahagiaan. Yang dibutuhkan adalah pengaturan dan transformasi oleh pemerintah.
Batasi Volume & Waktu Pelaksanaan – Buat aturan tegas soal jam dan desibel, disertai sanksi yang adil. Desain Partisipasi Warga yang inklusif. Libatkan semua lapisan masyarakat, terutama perempuan dan kelompok rentan, dalam merancang aturan maupun menentukan bentuk hiburan.
Aspek yang penting lainnya adalah Pendidikan Empati – Kampanye kesadaran bahwa hiburan tidak boleh mengorbankan hak orang lain. Beri peran perempuan yang signifikan, jangan membangun kesan perempuan sebagai objek seksual. Bawahan kebaya batik super mini, atau belahan hingga mendekati pangkal paha, malah menghilangkan keindahan baju kebaya kebanggaan kita.
Alihkan Sound Horeg menjadi ajang kreatif yang menonjolkan seni lokal, lomba musik, atau format panggung yang lebih ramah telinga. Kembangkan Inovasi Budaya – yang bersandar pada kreativitas dan pertambahan nilai ekonomi dan seni, serta menghentikan eksploitasi tubuh untuk membangkitkan sensasi seksualitas perempuan.
Kegembiraan sejati adalah ketika semua pihak bisa tersenyum tanpa ada yang harus menutup telinga atau menahan amarah. Dentuman bass yang memecah malam mungkin memberi sensasi euforia sesaat, tapi damai yang terjaga akan memberi kebahagiaan yang jauh lebih lama karena memberi energi/frekuensi tubuh yang tinggi.
Fenomena Sound Horeg adalah cermin bagaimana kita mengelola kebebasan. Pancasila mendukung bentuk kesenangan yang mulia sehingga membangun kebahagiaan, bukan kegembiraan yang merusak psikologis bahkan jiwa. Mari bermusik yang disertai empati, aturan, dan kesadaran sehingga bisa menjadi penyembuh luka kolektif kita semua.
*Penulis adalah Direktur Institut Sarinah
Discussion about this post