YOGYAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Upaya pemerintah menulis ulang sejarah nasional tanpa mencantumkan tragedi kekerasan seksual Mei 1998 menuai kritik keras dari sejumlah akademisi, aktivis, dan korban yang tergabung dalam Gerakan Perempuan untuk Keadilan Sejarah (GPKS). Kritik itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Perkosaan Mei 1998 adalah Luka Kita” di Langgeng Gallery, Yogyakarta, Jumat (25/7/2025).
Diskusi ini menghadirkan tokoh-tokoh seperti Ita Fatia Nadia (anggota Tim Gabungan Pencari Fakta 1998), Brigitta Isabella (peneliti), Masduki (Guru Besar UII), dan Farabi Faqih. Moderator Astrid Reza dari RUAS memandu jalannya diskusi yang dihadiri lebih dari 100 peserta.
Sorotan utama diskusi tertuju pada proyek penulisan Sejarah Nasional Indonesia (SNI) oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang disebut-sebut mengabaikan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998.
“Ini adalah pengingkaran terhadap fakta sejarah dan penderitaan korban. Saya bertemu langsung dengan para perempuan korban kekerasan seksual 1998. Negara hari ini ingin menyingkirkan kisah mereka dari ingatan publik,” ujar Ita Fatia Nadia dengan tegas.
Menurut Ita, proyek SNI versi pemerintahan Prabowo-Gibran dipenuhi glorifikasi terhadap penguasa masa lalu seperti Soeharto, SBY, dan Jokowi, tanpa keberanian mengungkap sisi gelap kekuasaan. “Sejarah semestinya partisipatif dan terbuka terhadap pengalaman-pengalaman yang tertindas, terutama perempuan,” ujarnya.
Masduki menambahkan, penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam sejarah nasional adalah bentuk politik anti-kemanusiaan yang sangat patriarkis. “Bangsa yang menghapus sejarahnya adalah bangsa yang kehilangan kompas moral,” tegasnya.
Brigitta Isabella menyampaikan bahwa forum seperti ini penting untuk membangun kesadaran kritis masyarakat.
“Dengan mengingat dan mendiskusikan sejarah kelam, kita bukan hanya mengenang, tapi sedang mentransformasi diri sebagai penyintas ketidakadilan,” ungkapnya.
Fadli Zon sebelumnya menyatakan bahwa tidak ada bukti terkait kasus perkosaan Mei 1998, pernyataan yang dikritik keras dalam diskusi ini. GPKS menyerukan agar masyarakat menolak sejarah versi pemerintah yang akan dijadikan proyek besar menjelang 80 tahun Kemerdekaan RI.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa penulisan sejarah tak bisa dilepaskan dari politik kuasa—dan karena itu, perlu terus dikritisi dan diperjuangkan agar berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan (RED).
Discussion about this post