JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Debat publik terkait prioritas pembangunan Jembatan Muna-Buton di Sulawesi Tenggara memasuki babak baru. Kritik Ketua DPD Partai Demokrat Sultra, Dr. Muh. Endang SA, terhadap proyek tersebut dipandang Visioner Indonesia sebagai bentuk pengaburan substansi pembangunan, dan tidak sensitif terhadap sejarah ketimpangan yang selama ini dialami masyarakat kepulauan.
Menurut Akril Abdillah, Sekretaris Jenderal Visioner Indonesia, pembangunan Jembatan Muna-Buton merupakan respons nyata terhadap ketimpangan struktural antara wilayah daratan dan kepulauan yang selama puluhan tahun nyaris tak tersentuh pembangunan konektivitas memadai.
“Jembatan ini bukan sekadar konstruksi baja. Ia adalah bentuk pengakuan terhadap warga kepulauan yang selama ini berjalan lebih lambat dalam pembangunan,” ujar Akril saat ditemui di Jakarta, Selasa (15/7).
Lebih lanjut, Akril menilai kritik Endang SA yang menyebut proyek ini tidak sesuai visi-misi ASR-Hugua saat Pilkada 2024 adalah narasi sempit yang mengabaikan prinsip dasar kepemimpinan. “Visi bukan teks mati. Seorang pemimpin harus adaptif terhadap aspirasi rakyat. Dan sejak dilantik, ASR menerima langsung desakan pembangunan dari masyarakat Muna dan Buton,” tegasnya.
Dalam pandangan Visioner Indonesia, keberadaan Jembatan Muna-Buton akan membuka akses logistik, pendidikan, kesehatan, dan mobilitas ekonomi bagi lebih dari 600 ribu warga di tujuh kabupaten/kota. “Ketika bicara konektivitas, kita bicara tentang memperpendek jarak dan memperpanjang harapan,” ujar Akril.
Selama ini, masyarakat kepulauan kerap mengalami biaya logistik yang lebih tinggi, keterlambatan layanan kesehatan, dan keterbatasan akses pendidikan tinggi karena isolasi geografis. Pembangunan jembatan ini adalah pernyataan politik bahwa semua warga negara berhak atas pelayanan setara, terlepas dari tempat mereka lahir.
Visioner Indonesia menganggap proyek ini bukan hanya urusan infrastruktur, melainkan rekonsiliasi pembangunan antara Sultra daratan dan Sultra kepulauan. “Kalau daratan mendapat jalan tol, maka kepulauan layak mendapat jembatan,” tegas Akril.
Lebih jauh, Visioner Indonesia membantah tudingan bahwa pemerintahan ASR-Hugua minim terobosan. “Justru dalam 100 hari pertama, ASR sedang fokus membangun hulu kebijakan—penataan fiskal, reformasi birokrasi, dan penguatan fondasi layanan dasar,” kata Akril.
Menurutnya, pembangunan tanpa fondasi kuat hanya akan menjadi pencitraan jangka pendek. “Kalau hanya kejar headline, semua bisa tampil di media. Tapi membangun sistem memerlukan ketekunan dan keteguhan arah.”
Visioner Indonesia juga mencatat bahwa dalam dua bulan terakhir, Gubernur ASR telah mengintensifkan koordinasi pembangunan lintas daerah, termasuk pertemuan dengan bupati/wali kota dan upaya mempercepat layanan udara di Bandara Sugimanuru dan Bandara Matahora.
Kritik Harus Didasarkan pada Data, Bukan Hasrat Elektoral
Terkait kritik yang dilayangkan oleh Endang SA, Visioner Indonesia menegaskan bahwa semua tokoh publik—terlebih politisi senior—harus meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan jangka pendek elektoral.
“Sultra sedang memasuki fase strategis pembangunan jangka panjang. Ini masa transisi kepemimpinan yang butuh ruang kerja kondusif. Jangan dikotori oleh opini yang digiring tanpa basis data,” kata Akril.
Mereka juga mengingatkan bahwa kritik sah adanya dalam demokrasi, tetapi harus kontekstual dan solutif, bukan destruktif. “Jika ada yang tidak setuju soal jembatan, mari beri alternatif yang lebih progresif, bukan sekadar bilang ‘jangan’ lalu selesai.”
Sebagai penutup, Akril menyebut bahwa Jembatan Muna-Buton hanyalah awal. Dalam peta konektivitas jangka panjang, visi selanjutnya adalah menghubungkan Pulau Muna dengan daratan utama Sulawesi melalui Konawe Selatan.
“Jika jembatan ini selesai, maka Sultra akan menciptakan koridor pertumbuhan baru lintas kepulauan dan daratan. Itulah arah besarnya. Kita tidak hanya membangun jalan, tapi mengubah sejarah,” tandas Akril (RED).
			








		    




















                
Discussion about this post