JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Langkah pemerintah melalui Bappenas dalam menulis dan menerbitkan biografi para ulama, seperti Kyai Faqih Maskumambang, menuai apresiasi dari kalangan pesantren dan tokoh agama. Tak sekadar pengakuan terhadap kontribusi ulama dalam sejarah bangsa, inisiatif ini dinilai sebagai upaya strategis dalam memperkuat jati diri kebangsaan yang berbasis nilai-nilai Islam Nusantara.
Hal ini mengemuka dalam acara Peluncuran dan Bedah Buku “Kyai Faqih Maskumambang: Peradaban Santri dan Altar Kebangsaan”, yang digelar di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Kamis (10/7/2025). Buku ini diterbitkan atas kerja sama Bappenas dengan LP3ES, sebagai bagian dari ikhtiar menggali dan membumikan warisan pemikiran pesantren dalam wajah Indonesia modern.
“Kyai dan ulama seperti Kyai Faqih Maskumambang bukan sekadar tokoh agama, tapi arsitek moral dan intelektual bangsa. Menulis sejarah mereka adalah bagian dari menjaga keberlangsungan peradaban,” ujar KH Muhammad Idror Maimoen, Pengasuh Ponpes Al Anwar Sarang.
KH Idror Maimoen menambahkan, banyak pemikiran para kyai yang selama ini hanya hidup dalam tradisi lisan. Penulisan buku semacam ini menjadi momentum penting untuk menyalurkan warisan itu dalam bentuk dokumentasi ilmiah dan historis yang dapat diakses generasi mendatang.
“Kami para generasi muda sering mendengar langsung dari Kyai Zubair tentang bagaimana para ulama dahulu merumuskan gagasan besar kebangsaan dari bilik-bilik pesantren,” ujarnya.
Senada dengan itu, KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), Pengasuh Ponpes Tebuireng dan Ketua PWNU Jawa Timur, menegaskan bahwa semangat Islam yang membumi, santun, dan toleran sebagaimana dicontohkan Kyai Faqih masih hidup dalam tradisi masyarakat hingga kini.
Ia mencontohkan pengajian Yasin As’ani di Jogon, sebuah ruang sosial yang melibatkan beragam kelompok masyarakat, dari ibu-ibu hingga pemuda, dalam suasana keagamaan yang damai dan penuh penghargaan terhadap perbedaan.
“Itu bukti bahwa ajaran para ulama kita membentuk ekosistem sosial yang damai dan konstruktif. Bahkan perbedaan fiqih pun disikapi dengan adab, bukan konflik,” ujar Gus Kikin.
Islam Nusantara dan Proyek Peradaban
Deputi Bappenas Amich Alhumami menegaskan bahwa penerbitan buku ini bukan sekadar dokumentasi sejarah, tetapi bagian dari proyek kebudayaan untuk membangun peradaban Indonesia berbasis Islam Nusantara—Islam yang akomodatif, cinta tanah air, dan inklusif.
“Kita ingin warisan pesantren masuk dalam narasi besar pembangunan Indonesia modern. Generasi muda perlu mengenal dan mencintai identitas keislaman yang berakar kuat di bumi Nusantara,” ujarnya.
Melalui buku ini, Bappenas berharap bisa membuka jalan bagi penulisan biografi tokoh-tokoh ulama lain yang selama ini luput dari dokumentasi resmi, namun memiliki kontribusi besar terhadap pembentukan identitas bangsa.
Melestarikan Keteladanan, Menjawab Tantangan Zaman
Koordinator tim penulis dari LP3ES menyatakan, kisah hidup Kyai Faqih Maskumambang adalah representasi dari perjumpaan antara ilmu agama, nasionalisme, dan praksis sosial yang membentuk karakter kebangsaan Indonesia.
“Kita tak bisa membangun masa depan jika tercerabut dari akar sejarah. Para ulama tidak hanya mengajar kitab, tapi juga membangun tatanan masyarakat. Penulisan sejarah ini adalah upaya untuk menyambung kembali rantai peradaban itu,” tandasnya.
Kyai Faqih Maskumambang, ulama kelahiran Gresik tahun 1857, dikenal sebagai ahli tafsir, tauhid, dan fiqih. Ia juga merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, dan guru dari tokoh-tokoh penting seperti KH Hasyim Asy’ari.
Dengan penulisan dan peluncuran buku ini, warisan intelektual dan keteladanan Kyai Faqih kini tak hanya hidup di pesantren, tetapi juga di tengah dinamika kebangsaan yang sedang mencari kembali fondasi moral dan spiritualnya (RED).
Discussion about this post