TEL AVIV, RADIANTVOICE.ID – Pemerintah Israel secara terbuka mengakui bahwa pihaknya berencana membunuh Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, selama perang udara yang berlangsung selama 12 hari antara kedua negara pada Juni 2025.
Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, yang menegaskan bahwa operasi tersebut siap dilakukan, namun tidak pernah mencapai eksekusi karena keterbatasan intelijen dan pengamanan ketat terhadap Khamenei.
“Jika dia (Khamenei) menjadi incaran kami, kami akan menghabisinya. Militer kami telah banyak melakukan pencarian,” ujar Katz, dikutip AFP, Jumat (27/6).
Menurut Katz, langkah pembunuhan itu pada akhirnya tidak realistis, karena Khamenei beroperasi sangat dalam di bawah tanah, dan memutus semua komunikasi langsung dengan lingkaran militer terdekatnya selama perang.
Pernyataan ini langsung menuai perhatian pengamat militer dan pakar hukum internasional. Dalam kerangka hukum internasional, pembunuhan kepala negara asing – terlebih dalam situasi perang tanpa deklarasi resmi – dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa dan Piagam PBB.
Apalagi, pernyataan Katz tidak lagi menggunakan istilah defensif, tetapi jelas menunjukkan niat ofensif.
“Dia harus belajar dari mendiang Nasrallah, yang duduk lama di dalam bunker,” tambah Katz, merujuk pada mantan pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah.
Sejak menjadi Rahbar (Pemimpin Tertinggi) Iran pada 1989, Ayatollah Khamenei dikenal sebagai figur sentral dan simbol nasional yang tidak pernah sekalipun meninggalkan wilayah Iran, bahkan dalam keadaan darurat seperti perang.
Hal ini membuat upaya pembunuhan terhadap dirinya sangat sulit secara operasional. Lokasinya dijaga ketat oleh sistem keamanan Revolusi Islam Iran, dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi.
Selama perang Israel–Iran yang pecah pada 13 Juni 2025, Israel dan Amerika Serikat melakukan serangan udara yang menargetkan tiga situs nuklir utama Iran: Natanz, Isfahan, dan Fordow. Militer Israel mengklaim bahwa serangan tersebut menghambat ambisi nuklir Teheran selama bertahun-tahun ke depan.
Di sisi lain, Iran membalas agresi itu dengan Operasi True Promise III, menembakkan lebih dari 20 gelombang rudal ke kota-kota besar dan pangkalan militer Israel, termasuk Tel Aviv dan Haifa.
Pengakuan terbuka Israel mengenai rencana pembunuhan pemimpin Iran menandai eskalasi baru dalam etika konflik bersenjata modern. Banyak pengamat menyebut ini sebagai bentuk “doktrin target terbuka” yang bisa membuka preseden berbahaya bagi stabilitas geopolitik global.
Israel memang tidak mengeksekusi rencana itu secara nyata, namun fakta bahwa perencanaan tersebut benar-benar ada cukup untuk menimbulkan ketegangan lebih dalam pada masa gencatan senjata yang rapuh (RED).
Discussion about this post