JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai tahun 2029 menuai tanggapan kritis dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Ahmad Khoirul Umam, Kepala Badan Riset dan Inovasi Strategis (BRAINS) DPP Partai Demokrat, yang menilai bahwa kebijakan ini bisa memperpanjang siklus ketegangan politik nasional.
Putusan MK tersebut tertuang dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024, dan menetapkan bahwa pemilu nasional – yang mencakup pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden – akan dipisah dari pemilu daerah, yaitu pemilihan DPRD dan kepala daerah.
Menurut Umam, pemisahan dua rezim pemilu ini membuka ruang risiko dalam dua dimensi utama: stabilitas politik nasional dan sinkronisasi pemerintahan.
“Dengan pemilu yang dipisah, kita akan menghadapi dua siklus kompetisi politik besar dalam jeda waktu yang relatif berdekatan. Ini berpotensi memperpanjang atmosfer politik yang panas dan melelahkan,” ungkap Umam.
Lebih lanjut, Umam menyoroti adanya risiko ketidaksinkronan pelantikan antara pejabat nasional dan daerah. Hal ini, menurutnya, berpotensi mengganggu koordinasi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan strategis lintas level.
“Sering kali pemerintah pusat dan daerah tidak berjalan seiring, apalagi jika berasal dari partai yang berbeda. Dengan pemilu terpisah, potensi fragmentasi itu akan semakin besar,” ujarnya.
BRAINS DPP Partai Demokrat juga melihat peluang untuk mengevaluasi lebih jauh sinkronisasi antara sistem presidensial dengan desain desentralisasi yang dianut Indonesia saat ini. Pemisahan pemilu justru dapat memperdalam garis pemisah koordinatif antar level pemerintahan bila tidak diantisipasi dengan baik.
Umam menekankan pentingnya kebijakan transisional dalam menyikapi jeda waktu antara pemilu nasional dan daerah, yang akan berdampak langsung pada masa jabatan kepala daerah dan DPRD.
“Tanpa transisi yang cermat, kita akan dihadapkan pada dilema administratif dan politis yang bisa menciptakan stagnasi kebijakan,” jelasnya.
Ia menyarankan agar Komisi II DPR RI, pemerintah, serta para akademisi dan elemen masyarakat sipil duduk bersama merumuskan desain pemilu baru yang adaptif dan terukur, serta menjamin kohesivitas sistem pemerintahan nasional secara keseluruhan.
Meski pemisahan ini membuka peluang bagi penguatan otonomi daerah dan isu-isu lokal, Umam memperingatkan adanya potensi peningkatan politik identitas dan polarisasi di daerah yang cenderung lebih sensitif terhadap dinamika akar rumput.
“Demokrasi kita bisa lebih hidup jika partisipasi rakyat diperluas, tapi jika ruang ini dibiarkan tanpa kontrol, bisa menjadi bumerang dalam bentuk disintegrasi sosial di tingkat lokal,” pungkasnya.
Dengan berbagai tantangan itu, pemisahan pemilu nasional dan lokal menjadi babak baru dalam sejarah demokrasi Indonesia—yang membutuhkan kesiapan sistemik, bukan sekadar teknis (RED).
			








		    





















                
Discussion about this post