Oleh : Emad Abshenas*
Dunia saat ini lebih menyerupai hutan rimba daripada sebuah tatanan internasional berbasis aturan. Di tengah kekacauan itu, standar ganda yang diterapkan oleh sebagian negara Barat terlihat sangat jelas. Contoh nyata adalah pernyataan terbaru para pemimpin G7 yang menyebut bahwa Israel memiliki hak untuk membela diri dari Iran. Namun, yang sengaja diabaikan adalah fakta bahwa justru Israel yang terlebih dahulu menyerang. Dengan kata lain, Israel adalah pihak agresor—bukan korban. Meski begitu, kekuatan Barat memilih untuk menutup mata terhadap pelanggaran nyata atas hukum internasional ini.
Menurut Piagam PBB, Iran memiliki hak untuk mempertahankan diri dari serangan luar, dan dalam kasus ini, serangan jelas datang dari Israel. Tak ada satu pun ketentuan dalam hukum internasional yang memperbolehkan sebuah negara—apalagi rezim seperti Israel—melancarkan serangan pendahuluan hanya berdasarkan ketakutan spekulatif atau ancaman samar. Jika logika seperti ini diterima secara luas, maka perdamaian dunia akan lenyap, karena setiap negara bisa membenarkan perang atas dasar “jika seandainya”.
Namun kenyataannya, dunia sedang menyaksikan hal itu terjadi: Barat memberikan cek kosong kepada Israel untuk bertindak sewenang-wenang, melindunginya di bawah payung keamanan mereka. Dukungan tanpa syarat ini mendorong banyak negara untuk sadar bahwa satu-satunya cara melindungi kedaulatan dan kelangsungan hidup mereka adalah mengambil sikap secara mandiri.
Iran sendiri sebenarnya tidak menginginkan perang. Teheran telah melakukan berbagai upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan, terutama dengan Amerika Serikat. Kesepakatan nuklir 2015 atau JCPOA adalah bukti komitmen Iran terhadap penyelesaian damai. Iran menandatangani perjanjian itu dan mematuhinya, namun pada 2018, AS secara sepihak mundur dari kesepakatan tersebut dan mengabaikan seluruh kewajibannya.
Serangan Israel terhadap Iran yang terjadi baru-baru ini, tepat menjelang putaran baru negosiasi nuklir, membuka tabir niat sebenarnya Washington. AS bukan hanya mengetahui rencana serangan itu—mereka terlibat langsung. Dengan tetap melanjutkan pembicaraan, AS memberikan ruang manuver bagi Israel, menjaga Iran tetap di meja perundingan agar lengah, sementara Israel mempersiapkan operasi militer. Kini tampak jelas bahwa negosiasi itu hanyalah bagian dari skenario yang sudah dirancang sebelumnya.
Setelah diserang secara tiba-tiba dan tanpa provokasi, Iran kini tidak memiliki pilihan selain membalas. Iran merasa harus melancarkan serangan terhadap target-target militer di wilayah pendudukan Israel sebagai bentuk peringatan keras atas tindakan agresi tersebut. Bahkan di dalam Israel sendiri, masyarakat mulai menyadari bahwa kepemimpinan mereka sedang menyeret negara ke dalam perang yang tak berujung dan tanpa pembenaran.
Selama bertahun-tahun, banyak warga Israel yang tidak tahu—atau memilih untuk tidak tahu—tentang arah kebijakan militeristik pemerintah mereka. Namun kini, ketika sirene berbunyi dan tempat perlindungan dibanjiri warga, kenyataan mulai menyentuh kesadaran publik. Ada kekhawatiran yang tumbuh bahwa agresi yang terus berlanjut justru akan menghancurkan rasa aman yang selama ini dianggap pasti. Banyak warga Israel mulai bersiap untuk pergi, dan eksodus ini sebenarnya sudah dimulai. Puluhan ribu pemukim Israel telah mulai meninggalkan wilayah tersebut.
Pemerintah Israel dikabarkan telah memberlakukan pembatasan perjalanan keluar untuk mencegah gelombang eksodus, tetapi tetap saja banyak yang mencari jalan keluar—bahkan ada yang nekat melarikan diri menggunakan perahu kecil menyeberang ke Siprus. Biaya untuk menyeberang dari Israel ke Siprus kini diperkirakan mencapai antara $10.000 hingga $20.000. Dari sana, banyak yang kembali ke negara asal mereka. Beberapa bahkan rela membayar hingga $100.000 demi meninggalkan zona perang.
Terkait kemungkinan keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam konflik ini, harus ditegaskan: AS sebenarnya sudah terlibat sejak hari pertama. Anggapan bahwa Washington bisa “terseret” ke dalam perang ini adalah omong kosong. Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah: apakah AS siap melihat tentaranya pulang dalam peti mati demi perang yang dipicu oleh Netanyahu dan kelompok garis kerasnya?
Apakah rakyat Amerika benar-benar ingin anak-anak mereka dikorbankan demi ambisi politik seorang perdana menteri Israel? Jika AS memilih terlibat secara langsung dalam perang ini, mereka justru akan menanggung risiko yang jauh lebih besar dibandingkan Israel.
Iran berada sekitar 1.500 kilometer dari Israel, sehingga misil Iran harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk mencapai target. Menyerang Israel bukan perkara mudah. Tapi pangkalan militer dan aset-aset Amerika di kawasan Timur Tengah jauh lebih terbuka—dan jauh lebih mudah dijangkau. Jika benar-benar terjadi eskalasi, Iran dipastikan akan memberikan pukulan yang sangat berat.
Dan ini tidak hanya menyangkut nyawa tentara Amerika. Seluruh kepentingan ekonomi AS di kawasan—mulai dari minyak, gas, infrastruktur, dan perusahaan-perusahaan besar—akan menjadi sasaran yang sah. Perusahaan-perusahaan Amerika yang beroperasi di Timur Tengah dalam jumlah besar dan dengan investasi tinggi, akan berada dalam posisi sangat rentan. Iran memiliki hak hukum untuk merespons secara ekonomi bila infrastrukturnya diserang.
Iran memiliki hak sepenuhnya secara hukum untuk melakukan pembalasan ekonomi jika infrastrukturnya diserang. Dan jangan salah sangka—jika AS terjun ke dalam perang ini, mereka akan keluar dengan menanggung kerugian yang jauh lebih dalam (*)
*Penulis adalah Analis Hubungan Timur Tengah
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan terjemahan dari opini berjudul Price of war with Iran far higher for US than for Israel karya Emad Abshenas yang pertama kali dipublikasikan di Iran Daily, Sabtu (21/06). Isi artikel sepenuhnya mencerminkan pandangan pribadi penulis dan tidak selalu mencerminkan sikap redaksi Radiant Voice.
Radiant Voice memuat tulisan ini untuk tujuan edukatif dan sebagai bahan pertimbangan dalam memahami beragam sudut pandang terhadap isu global yang sedang berlangsung, khususnya konflik di Timur Tengah antara Iran-Israel. Kami mendorong pembaca untuk menyikapi setiap opini secara kritis dan mempertimbangkan berbagai sumber informasi.
Discussion about this post