REHOVOT ISRAEL, RADIANTVOICE.ID — Para ilmuwan di Institut Sains Weizmann berduka setelah serangan rudal balistik Iran menghantam langsung kampus mereka pada Minggu dini hari (19/6/2025), menyebabkan kerusakan parah terhadap dua bangunan dan melumpuhkan puluhan laboratorium. Tak ada korban jiwa, namun dampaknya terhadap dunia akademik sangat besar: banyak peneliti kehilangan seluruh hasil kerja ilmiah mereka selama puluhan tahun.
Salah satu korban paling terdampak adalah Prof. Eldad Tzahor, pakar biologi jantung. Laboratoriumnya yang telah dibangun selama 22 tahun luluh lantak. Ribuan sampel jaringan jantung manusia dan hewan, DNA, RNA, serta data ilmiah lainnya, musnah dalam sekejap.
“Itu seperti zona perang,” kata Tzahor sebagaimana dilansir dari The Times of Israel.
“Seluruh fasilitas kami dipenuhi pecahan kaca dan logam,”imbuhnya.
Saat melihat sebuah lemari pendingin masih utuh, ia dan menantunya berupaya menyelamatkan isinya, meski suhu ideal penyimpanan -80°C telah gagal dipertahankan.
Weizmann Institute, yang berdiri sejak 1934 oleh Presiden pertama Israel Chaim Weizmann, adalah pusat riset kelas dunia dalam bidang sains alam dan eksakta. Iran diduga menargetkan lembaga ini sebagai balasan atas operasi Israel terhadap ilmuwan nuklir Iran.
Menurut laporan yang dikutip dari The Times of Israel, sekitar 45 laboratorium rusak parah, termasuk milik Prof. Jacob Hanna, yang sedang berada di luar negeri saat serangan terjadi. Mahasiswanya berhasil menyelamatkan ratusan kultur sel dengan memindahkannya ke tangki nitrogen cair cadangan yang telah ia siapkan jauh hari, mengantisipasi risiko perang sejak konflik multiarah dimulai 7 Oktober 2023.
Dr. Tslil Ast dari Departemen Ilmu Biomolekuler menjelaskan bahwa banyak laboratorium bergantung pada peralatan bersama di Weizmann, yang kini hancur. “Peralatan mahal seperti mikroskop canggih sangat krusial, dan tak mungkin dibeli oleh satu lab saja,” jelasnya.
Tak hanya penelitian yang terdampak. Fasilitas kampus dan hunian peneliti juga rusak, memaksa sejumlah staf dan keluarga meninggalkan rumah mereka. “Rasa aman komunitas kampus sangat terguncang,” tambah Ast.
Prof. Oren Schuldiner, ahli neurobiologi perkembangan yang laboratoriumnya juga hancur, mengatakan: “Ini seperti kehilangan hidup saya. 17 tahun kerja keras lenyap.” Ia menjelaskan, koleksi lalat Drosophila transgenik yang diciptakan untuk meneliti autisme dan skizofrenia turut musnah. “Kami sedang mencari cara menyelamatkan karier mahasiswa kami satu per satu.”
Kendati demikian, respons solidaritas dari sesama ilmuwan menjadi harapan. “Sejak Minggu pagi, saya menerima ratusan pesan dari rekan-rekan di seluruh dunia,” kata Tzahor. Beberapa menawarkan tempat lab baru, menyumbangkan ulang plasmid DNA, bahkan menawarkan lalat transgenik gratis dari California.
Sementara itu, proses rekonstruksi diperkirakan memakan waktu bertahun-tahun dan biaya tinggi. “Mikroskop konfokal saja bisa butuh waktu 3-4 bulan dalam kondisi normal. Sekarang, siapa yang tahu kapan akan tersedia?” ujar Schuldiner.
Di tengah duka, komunitas ilmiah global justru menunjukkan kekuatannya: saling bantu, berbagi, dan menjaga semangat sains tetap menyala (RED).
Discussion about this post