JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Selasa (17/6), memicu kritik tajam dan kekhawatiran luas di kalangan masyarakat sipil. Kritik tersebut bukan hanya soal substansi pernyataannya yang dianggap melecehkan Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi juga soal indikasi melemahnya komitmen legislatif terhadap sistem demokrasi dan supremasi konstitusi.
Dalam RDPU dengan LPSK dan Peradi, Habiburokhman mengungkapkan kelelahan DPR dalam membuat undang-undang yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ia menyebut bahwa putusan MK hanya ditentukan oleh sembilan hakim tanpa melibatkan partisipasi publik, sebuah pandangan yang dinilai menyederhanakan proses hukum dan melemahkan kepercayaan pada lembaga yudikatif.
Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menanggapi keras pernyataan tersebut. Ia menilai bahwa pernyataan tersebut mencerminkan pemahaman yang keliru mengenai prinsip check and balances dalam demokrasi modern. “Pernyataan itu tidak hanya berbahaya secara konstitusional, tetapi juga menunjukkan sikap otoritarian yang menolak kontrol kekuasaan,” kata Fadhil, Kamis (19/6).
LBH Jakarta mengingatkan bahwa dalam sistem negara hukum, kekuasaan yudikatif yang independen adalah benteng terakhir warga negara dalam menghadapi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif maupun legislatif.
Lebih jauh, Fadhil menyoroti gejala yang menurutnya bukan insiden tunggal. Sebelumnya, DPR sempat mencopot hakim MK Aswanto lantaran tidak sejalan dengan kepentingan DPR. Langkah ini, menurut LBH Jakarta, menjadi sinyal kuat bahwa lembaga legislatif tengah mengikis independensi MK secara sistematis.
“Ini bukan sekadar soal satu komentar politisi. Ini soal bagaimana kekuasaan berusaha menyingkirkan hambatan-hambatan hukum demi memuluskan agenda politiknya,” kata Fadhil.
Selain itu, LBH Jakarta juga mencurigai bahwa komentar Habiburokhman terkait erat dengan pembahasan sejumlah RUU kontroversial yang dinilai minim partisipasi publik, seperti RUU KUHAP. Pernyataan tersebut dikhawatirkan membuka jalan bagi disahkannya produk hukum yang tidak demokratis dan tidak akuntabel.
Fadhil menambahkan, sebagai pejabat negara yang berbicara dalam forum resmi DPR, Habiburokhman memiliki tanggung jawab hukum dan etik untuk menyampaikan pendapat secara objektif dan berlandaskan pada asas-asas pemerintahan yang baik. Pernyataan yang meremehkan peran MK dan publik, menurutnya, justru mengarah pada praktik autocratic legalism, sebagaimana dikritisi oleh pakar hukum tata negara Kim Scheppele.
LBH Jakarta mendesak Ketua Komisi III DPR tersebut untuk mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada publik. Mereka juga menyerukan kepada seluruh anggota legislatif agar memperkuat kembali komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang menjunjung tinggi partisipasi rakyat dan supremasi hukum.
“Ini saatnya bagi DPR RI untuk membuktikan bahwa mereka berpihak pada konstitusi dan rakyat, bukan pada ego kekuasaan,” pungkas Fadhil (RED).
Discussion about this post