JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Publik dihebohkan dengan beredarnya gambar dan video mengerikan yang memperlihatkan seolah-olah terjadi kerusakan parah di kawasan Raja Ampat. Namun belakangan diketahui, visual tersebut adalah hasil rekayasa kecerdasan buatan (AI). Isu ini langsung menyita perhatian dan menuai kritik tajam dari sejumlah pakar, salah satunya Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi.
Dalam pernyataannya, Fahmi mengingatkan pentingnya literasi digital di era banjir informasi seperti sekarang. Ia menilai bahwa maraknya disinformasi visual, apalagi yang menyangkut isu sensitif seperti lingkungan, bisa memicu kegaduhan publik dan bahkan berpotensi menggoyahkan stabilitas nasional.
“Manipulasi gambar berbasis AI bisa menyesatkan opini publik. Jika tidak segera direspons dengan komunikasi yang transparan, dampaknya bisa serius,” tegas Fahmi.
Kontroversi ini muncul tak lama setelah pemerintah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Geopark Raja Ampat pada 10 Juni 2025. Pencabutan tersebut dinilai sebagai langkah hukum yang telah melalui proses panjang, bukan semata karena tekanan netizen.
Fahmi menjelaskan bahwa pemantauan terhadap aktivitas pertambangan di Raja Ampat telah dilakukan sejak awal tahun 2025 dan diperkuat dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
“Pemerintah tidak bertindak reaktif terhadap viralitas semata. Ini adalah penegasan bahwa rule of law masih menjadi dasar utama pengambilan keputusan strategis,” ujarnya.
Meski begitu, Fahmi tetap menilai partisipasi publik sebagai hal penting. Ia menegaskan bahwa kritik dari masyarakat, termasuk netizen, adalah bagian dari kontrol demokratis. Namun ia mengimbau agar keterlibatan tersebut tidak dilandasi oleh informasi palsu.
“Netizen itu mitra strategis pemerintah. Tapi partisipasi mereka harus cerdas dan berbasis data yang benar. Kalau tidak, bisa kontraproduktif,” jelasnya.
Fahmi juga mengapresiasi pendekatan lintas kementerian yang dinilai serius menangani isu pertambangan dan perlindungan lingkungan di Raja Ampat. Menurutnya, langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia berkomitmen membangun tanpa mengorbankan masa depan ekologis.
“Ini bukan respons emosional. Ini pernyataan jangka panjang: Indonesia ingin maju, tapi tidak dengan merusak warisan alamnya,” tutup Fahmi.
Di tengah banjir informasi yang semakin sulit dibedakan antara fakta dan fiksi, pernyataan ini menjadi pengingat pentingnya kehati-hatian, terutama dalam menyikapi isu-isu strategis seperti lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (RED).
Discussion about this post