Oleh Arip Musthopa, S.IP., M.Si.*
Bank Dunia mendefinisikan negara berpendapatan menengah-atas adalah negara yang pendapatan per kapitanya berada di antara US$4.466 dan US$13.845. Indonesia yang pendapatan per kapitanya tahun 2024 sebesar US$5.271, secara otomatis masuk kategori tersebut. Setelah mencapai level ini, maka target selanjutnya adalah masuk kategori negara berpendapatan tinggi atau negara maju dengan pendapatan per kapita lebih dari US$13.845.
Ini bukan perkara mudah, karena tidak semua negara mampu melakukannya. Bahkan sebagian besar negara gagal menjadi negara berpendapatan tinggi sehingga memunculkan istilah perangkap pendapatan menengah (middle-income trap). Laporan Bank Dunia tahun 2013 tentang China 2030, menyebutkan bahwa dari 101 negara yang tergolong berpendapatan menengah tahun 1960, hanya 13 negara yang mampu menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2008. Dengan kata lain, hanya sekitar 13% saja negara berpendapatan menengah yang mampu menjadi negara berpendapatan tinggi. Lantas, dimana letak masalahnya?
Studi Eva Paus terhadap negara-negara Amerika Latin yang dipublikasikan oleh ADB Institute tahun 2017 berjudul: Escaping the Middle-Income Trap: Innovate or Perish (Keluar dari Perangkap Pendapatan Menengah: Berinovasi atau Binasa) menyimpulkan bahwa kegagalan negara-negara Amerika Latin meningkatkan level pendapatannya dari menengah ke tinggi disebabkan oleh kurangnya kemampuan inovasi dalam negeri, sehingga produktifitasnya rendah dalam menghasilkan nilai tambah (ekonomi).
Eva Paus kemudian menguraikan bahwa rendahnya inovasi dan produktifitas negara-negara Amerika Latin ditandai oleh rendahnya produktifitas tenaga kerja, terjadinya deindustrialisasi prematur, struktur industri yang kurang terintegrasi dengan global value chain, rendahnya pengeluaran untuk riset dan pengembangan, rendahnya pengajuan hak paten, tingkat pendidikan dan kondisi infrastruktur yang kurang baik, dan sebagainya. Semua itu berlangsung selama puluhan tahun, meski rezim pemerintahan berganti berulang kali.
Oleh karena itu, Eva Paus menawarkan solusi kepada negara berpendapatan menengah agar memiliki strategi komprehensif yang berfokus pada inovasi dengan kebijakan strategis yang aktif. Untuk mewujudkannya harus dilakukan secara sistematis dan melibatkan semua pihak terkait mulai dari pemerintah, pelaku bisnis, lembaga riset, dan institusi pendidikan. Semua elemen tersebut harus menjadi semacam “koalisi politik” yang bahu-membahu memajukan kapasitas inovasi dan produktifitas dalam negeri.
Apa yang terjadi pada negara-negara Amerika Latin sesungguhnya telah dan sedang terjadi juga di Indonesia, karena status negara berpendapatan menengah sudah diraih Indonesia sejak 1985. Jadi –dengan mengecualikan masa krisis moneter 1998– sudah hampir 40 tahun Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah dan belum bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi. Sehingga dapat dikatakan, Indonesia telah terperangkap menjadi negara berpendapatan menengah (middle-income trapped country).
Lantas, bagaimana jalan keluar dari perangkap ini?
Berkaca dari Eva Paus di atas, jelas Indonesia harus meningkatkan kemampuan inovasi dan produktifitasnya. Saat ini rata-rata produktifitas yang tercermin dari _Total Factor Productivity _(TFP) Indonesia selama kurun tahun 2005-2019 tumbuh negatif sebesar -0,66. Capaian tersebut relatif tertinggal dibandingkan Korea Selatan yang mampu mencapai 1,61 ketika masih berada pada posisi menuju negara maju (1971-1995) dan juga Tiongkok sebesar 1,60 selama kurun waktu 2005-2019.
Persoalan membangun inovasi dan produktifitas suatu negara adalah hal yang kompleks dan rumit. Itu adalah sebuah pekerjaan besar yang perlu keterlibatan semua pihak dalam jangka panjang. Ibarat lomba lari, ia lebih seperti lomba lari marathon, alih-alih sprint. Meski sulit dan rumit, tetap harus ditempuh karena tidak ada jalan lain.
Nampaknya pemerintah RI telah menyadari hal ini dan sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan regulasi yang mengarah pada upaya untuk meningkatkan inovasi dan produktivitas. Seperti pembangunan infrastruktur yang massif, penyederhanaan aturan investasi melalui undang-undang cipta kerja, dan penyatuan Lembaga-lembaga riset milik pemerintah ke dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Hanya saja dampaknya belum sekuat yang diharapkan. Mengapa demikian?
Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan yang dihadapi, penulis melihat perlu upaya membangun sumber daya manusia yang lebih massif dan sistematis, semacam menyiapkan “generasi baru” yang lebih inovatif dan produktif. Soft and hard skills generasi ini harus disiapkan melalui pendidikan dan pelatihan yang lebih baik dan diperkuat dengan menciptakan lingkungan yang mendukung upaya peningkatan inovasi dan produktifitas tersebut.
Upaya perbaikan generasi ini, menurut hemat penulis, sebaiknya difokuskan pada mereka yang saat ini berusia 16-30 tahun (dan generasi setelahnya), atau yang biasa disebut sebagai pemuda, yang jumlahnya tahun 2023 sebanyak 64,16 juta jiwa atau 23,18% dari total penduduk Indonesia. Mengapa pemuda?
Ini mungkin alasan klasik. Pemuda dalam sejarah Indonesia telah menorehkan banyak catatan penting dalam hal kepeloporan memulai suatu era baru. Sebut saja era pergerakan nasional dan Sumpah Pemuda 1928, drama penculikan pemuda terhadap Soekarno-Hatta sehingga terjadi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Angkatan 66 yang melahirkan Orde Baru dan Angkatan 1998 yang menelorkan Era Reformasi. Singkatnya, ada preferensi historis yang dapat dijadikan sandaran ideologis untuk menggerakan pemuda melahirkan era baru yang lebih inovatif dan produktif menuju Indonesia Emas 2045: suatu Indonesia dengan pendapatan per kapita tinggi setara negara maju.
Alasan lain adalah usia pemuda adalah usia transisi menuju dewasa. Dalam periode ini, ada proses pencarian dan pembentukan jati diri, serta menegaskan tujuan dan makna hidup. Mereka mengakhiri masa pendidikan formal kemudian memasuki dunia kerja sebagai pengusaha, pegawai, atau seorang self-employment. Di akhir masa pendidikan dan di awal masa kerja inilah fase krusial sekaligus momentum strategis untuk mereka mengenal dan menerapkan standar yang lebih tinggi dalam hal inovasi dan produktifitas.
Selanjutnya, pemuda pada umumnya belum terlibat mendalam dengan sistem status quo. Mereka belum memiliki ketergantungan terhadap sistem yang telah mapan. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri bagi mereka untuk melakukan perubahan atau menentukan standarnya sendiri. Pada sisi yang lain, dengan memperoleh pendidikan yang baik, mereka sudah cukup matang untuk mampu membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, dan mana yang mendorong pada kemajuan dan menarik pada kemunduran. Wallahu a’lam bishshawab.
*) Penulis adalah Founder Komunitas Cinta Indonesia, Ketua Umum PB HMI 2008-2010.
Discussion about this post