JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Rencana pemerintah menulis ulang sejarah Indonesia mendapat sorotan tajam dari kalangan sejarawan dan legislatif. Mereka menilai proses penulisan sejarah nasional harus terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat, bukan disusun secara tertutup oleh negara.
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan sekaligus sejarawan, Bonnie Triyana, secara tegas meminta agar naskah penulisan sejarah Republik Indonesia diuji publik terlebih dahulu sebelum diterbitkan secara resmi.
“Saya minta naskah buku sejarah itu diuji publik dulu sebelum diterbitkan. Supaya dapat masukan dari masyarakat. Karena sejatinya sejarah adalah milik masyarakat, bukan hanya milik negara,” ujar Bonnie saat dihubungi pada Selasa (6/5).
Senada dengan Bonnie, sejarawan Universitas Nasional (Unnas), Andi Achdian, juga menyoroti kurangnya ruang partisipatif dalam proyek ini. Ia menilai sejarah nasional tak boleh menjadi alat kekuasaan yang hanya menonjolkan versi pemerintah.
Menurut Andi, penulisan sejarah seharusnya tidak diserahkan kepada negara, melainkan diserahkan kepada komunitas keilmuan. “Sejarah bukan sekadar catatan pemerintah, tapi juga tentang ingatan kolektif, termasuk mereka yang pernah menjadi korban kekerasan negara,” ujarnya, Rabu (7/5).
Andi mengungkapkan kekhawatirannya setelah melihat outline proyek penulisan tersebut. Ia menyebut hanya dua dari 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Komnas HAM dimuat dalam rencana buku sejarah itu. Ia menyesalkan peristiwa penting seperti tragedi 1965 dan penculikan aktivis menjelang Reformasi tidak diakomodasi.
Ia pun menilai revisi tersebut cenderung memuat glorifikasi terhadap pemerintahan dari era Sukarno hingga Jokowi, tanpa menghadirkan sisi gelap sejarah yang penting untuk diingat dan dipertanggungjawabkan.
“Kalau semuanya tampak baik-baik saja, lalu di mana tempat bagi luka sejarah dan suara korban?” tegasnya.
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya menyampaikan bahwa proyek penulisan ulang sejarah ini ditargetkan rampung pada Agustus 2025, melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai kampus. Fadli menambahkan, buku ini akan menjadi panduan sejarah resmi untuk dunia pendidikan.
Namun, desakan dari kalangan akademisi dan wakil rakyat menunjukkan bahwa proyek ini harus dijalankan secara inklusif, bukan menjadi narasi tunggal milik penguasa (RED).
Discussion about this post