Oleh : Taufiq Fredrik Pasiak*
Dalam ekonomi biasa, kita mengenal mata uang sebagai alat tukar bernilai yang disepakati bersama: rupiah, dolar, euro, dll. Namun, dalam suasana politik yang dikaburkan oleh krisis dan disinformasi, ada mata uang baru dan paling laku; rasa takut.
Ketakutan diproduksi dalam skala masif, diedarkan melalui berbagai kanal komunikasi, lalu ditukar dengan hal-hal konkret: dukungan politik, legitimasi kekuasaan, hingga pengabaian atas akal sehat. Saya menyebutnya : fear currency—mata uang sosial baru yang bekerja bukan di bank, melainkan di dalam sistem saraf manusia.
Ketakutan tidak membutuhkan logika untuk berfungsi. Ia hanya perlu satu hal: persepsi ancaman. Begitu persepsi itu tertanam, manusia akan rela menukar kebebasannya demi rasa aman, bahkan jika rasa aman itu hanya ilusi.
Dalam sistem politik yang manipulatif, fear currency menjadi alat tukar paling murah sekaligus paling menguntungkan. Ia menggerakkan massa lebih cepat dari ideologi, lebih kuat dari fakta, dan lebih lengket dari cinta.
Ketika publik merasa cemas akan kehilangan pekerjaan, identitas, agama, atau tempat tinggalnya, mereka menjadi pasar yang siap membeli siapa pun yang menjanjikan perlindungan. Fear currency tidak muncul begitu saja—ia direkayasa. Dibentuk di laboratorium wacana, dicetak dalam pabrik-pabrik media, dan didistribusikan oleh elite politik yang paham betul bahwa ketakutan adalah alat kontrol paling efisien.
Di balik tiap siaran, ancaman disintegrasi, atau headline penuh teror, ada algoritma kuasa yang bekerja: membuat publik siaga, tetapi bukan untuk berpikir—melainkan untuk patuh. Ketika ketakutan dikemas berulang-ulang, ia berubah dari informasi menjadi doktrin, lalu menjadi kebenaran semu yang hidup di kepala jutaan orang.
Tak perlu pasukan untuk menguasai rakyat; cukup tayangan dan cerita yang membuat mereka takut kehilangan segalanya. Media massa, dengan atau tanpa sadar, sering menjadi bank sentral ketakutan. Mereka mencetak berita-berita yang memicu kecemasan karena tahu: klik datang dari kekhawatiran, bukan ketenangan.
Sementara itu, politisi menyebar token-token seperti leaflet kampanye: narasi musuh dalam selimut, potensi chaos, atau janji keamanan jika memilih sosok tertentu. Ketakutan menjadi bahasa politik yang tak perlu diterjemahkan; ia langsung menyentuh amigdala, pusat alarm otak manusia. Dalam atmosfer semacam ini, demokrasi tetap hidup secara prosedural, tapi isi kepalanya sudah penuh suara sirene rasa takut.
Negara, sadar atau tidak, seringkali menjadi pemain utama dalam pasar gelap fear currency. Dalam situasi krisis, negara seharusnya bertindak sebagai penenang kolektif—regulator emosi publik. Namun yang terjadi justru sebaliknya: negara kerap memelihara ambiguitas, membiarkan ketakutan tumbuh liar, lalu datang belakangan sebagai penyelamat.
Ini strategi klasik: membiarkan rumah terbakar cukup lama agar ketika air disiram, semua orang bersyukur—bukan bertanya kenapa api tak dicegah sejak awal. Ketika rasa takut menjadi sumber legitimasi, maka negara tak lagi bekerja demi ketenangan warga, tetapi demi mengelola kadar kecemasan yang cukup untuk membuatnya dibutuhkan.
Lebih halus lagi, negara bisa bermain melalui ketidakpastian hukum, bias penegakan, atau pembiaran terhadap ujaran berbau ancaman. Ini bentuk fear farming “ladang ketakutan” yang tidak eksplisit, tetapi efektif. Ketika warga tak yakin apakah mereka akan dilindungi atau justru diawasi, ketakutan berubah menjadi ekosistem sosial yang produktif—bagi kekuasaan. Ia melumpuhkan kritik, membungkam oposisi, dan menjadikan rakyat lebih patuh daripada kalau mereka ditakut-takuti secara terang-terangan.
Dalam kondisi ini, negara tidak perlu selalu hadir secara represif—cukup dengan menciptakan suasana “bisa jadi kamu korban berikutnya,” maka kontrol berjalan tanpa perlu represi fisik. Apa yang membuat fear currency begitu efektif bukan hanya karena ia didukung oleh media dan negara, tapi karena ia berakar langsung dalam struktur biologis otak manusia.
Di pusat sistem limbik kita, terdapat amigdala—struktur kecil yang bertugas mengenali ancaman dan mengaktifkan respons “lawan atau lari” (fight or flight). Saat amigdala terpicu, aliran darah mengalir lebih banyak ke pusat emosi dan menjauh dari korteks prefrontal, yaitu bagian otak yang mengatur penalaran, pengambilan keputusan, dan empati. Artinya: semakin takut seseorang, semakin kecil kemungkinannya berpikir rasional.
Ini menjelaskan mengapa propaganda berbasis ancaman selalu lebih cepat menyebar ketimbang kampanye berbasis fakta atau data. Dalam jangka panjang, paparan ketakutan kronis mengubah cara kerja otak. Studi neurosains menunjukkan bahwa otak yang hidup dalam lingkungan penuh ancaman akan membentuk pola pikir bertahan, ‘terserah saja”, dan mudah dikendalikan oleh simbol-simbol otoritas.
Dan dalam masyarakat yang dicekam rasa takut, ruang kosong kekuasaan rasional sering kali diisi oleh figur yang menawarkan keamanan instan—termasuk preman. Premanisme bisa tampil sebagai solusi alternatif: dari ormas jalanan, milisi digital, hingga tokoh karismatik yang berdiri bukan di atas hukum, tapi di atas ketakutan publik.
Di titik ini, fear currency tak hanya mencetak kepatuhan, tapi juga memproduksi otoritas bayangan yang diberi kuasa oleh rasa cemas kolektif. Ketika fear currency menjadi alat tukar dominan, ruang publik perlahan kehilangan fungsinya sebagai arena dialog dan berubah menjadi ladang sensor kolektif.
Orang tidak lagi berbicara untuk menyampaikan pendapat, tapi untuk menghindari sanksi sosial. Warga mulai memilih diam, bukan karena tidak peduli, tetapi karena takut salah ucap, salah posisi, atau salah persepsi. Demokrasi pun terancam bukan oleh kudeta atau peluru, tapi oleh pembusukan sunyi akibat ketakutan yang menular.
Dalam kondisi ini, oposisi dibungkam bukan lewat kekerasan, tapi lewat stigma. Perbedaan dianggap ancaman, kritik disamakan dengan makar, dan oposisi direduksi menjadi musuh negara. Dampak jangka panjangnya bukan hanya politis, tapi eksistensial. Sebab bangsa yang dibesarkan dalam atmosfer ketakutan akan kesulitan melahirkan inovasi, empati, dan imajinasi sosial.
Anak-anak muda yang tumbuh dalam budaya sensor, kecemasan dan ketakutan tak akan belajar untuk berpikir kritis, tapi hanya untuk bertahan dan menyesuaikan diri. Ketakutan kronis mematikan kreativitas, dan bangsa yang kehilangan daya cipta akan menjadi penonton dalam sejarahnya sendiri.
Pada gilirannya, fear currency bukan lagi alat kekuasaan, melainkan kutukan peradaban. Ia memberi stabilitas semu hari ini, tapi menagih masa depan yang tak lagi berani bermimpi. Negara tidak bisa terus bermain-main dengan ketakutan rakyatnya. Karena seperti semua mata uang, fear currency juga punya inflasi—dan ledakan.
Rasa takut yang ditekan terlalu lama tidak menghilang, ia mengendap. Ia menumpuk dalam sunyi, dalam ruang-ruang pribadi yang tak terdengar mikrofon kekuasaan. Sejarah mencatat: ketika batas biologis dan moral ketakutan itu runtuh, ledakannya bukan lagi psikologis, tapi politis.
Revolusi Bolshevik di Rusia (1917) meledak dari rasa takut kaum buruh akan kelaparan dan represi Tsar. Revolusi Prancis (1789) lahir dari kecemasan akan ketidakadilan dan feodalisme yang membusuk. Revolusi Kuba (1959) digerakkan oleh ketakutan rakyat terhadap tirani dan ketimpangan ekonomi. Revolusi Iran (1979) muncul dari kegelisahan spiritual dan ketakutan akan kehilangan identitas. Reformasi Indonesia (1998) adalah letupan kolektif dari generasi yang terlalu lama diajari untuk diam.
Dan Arab Spring (2010–2012), yang diawali oleh seorang pedagang kecil di Tunisia, menjalar ke Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah—semuanya diawali oleh rakyat yang merasa tidak lagi punya tempat aman, bahkan di negerinya sendiri.
Ketika negara terus hadir hanya sebagai penjaga ketertiban, bukan sebagai pengemban keadilan, maka rakyat akan mencari “kehadiran lain” yang lebih mewakili harapan mereka—sekalipun dengan harga kekacauan. Karena ketakutan yang tidak diurai akan berubah menjadi keberanian yang tak bisa ditahan.
Mohamed Bouazizi di Tunisia itu hanya ingin berdagang tanpa dihina. Namun, ketika negara tak hadir untuk memberi ruang hidup, api membakar tubuhnya—dan membakar seluruh dunia Arab. Di Iran, Kuba, Sudan, dan bahkan Ukraina, pola yang sama terulang: negara yang absen dari batin rakyat akan dipanggil ulang lewat kemarahan.
Karena jika negara terus hadir hanya dalam bentuk perintah, bukan pengertian, maka ketakutan yang ditanam hari ini akan menjadi revolusi yang dipanen esok. Karena itu, kehadiran negara seharusnya bukan untuk menebar rasa aman semu, tetapi untuk membongkar akar kecemasan nyata.
Negara harus hadir dengan transparansi, keberpihakan pada yang lemah, dan kejujuran naratif. Ia harus mengubah logika komunikasi publik: dari “menenangkan dengan ancaman” menjadi “menerangkan dengan keberanian.” Aparat negara bukan hanya butuh pelatihan teknis, tapi literasi emosional—sekali lagi, literasi emosional—agar mereka tidak menjadi mesin penekan, melainkan penopang kepercayaan sosial.
Pendidikan publik harus diarahkan untuk membentuk warga yang berani berpikir, bukan warga yang takut dihukum. Secara praktis, ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana: menghapus ketidakpastian hukum, membuka kanal aspirasi yang benar-benar bekerja, mengedukasi aparat untuk menghargai kritik, serta membongkar narasi-narasi toksik yang menciptakan musuh imajiner di tengah masyarakat. Negara harus kembali ke fitrahnya: bukan pemilik ketakutan rakyat, tapi pelindung keberanian mereka untuk hidup bermartabat.
Dan jika negara lalai, maka sejarah akan kembali berbicara—bahwa rakyat yang ditakut-takuti terlalu lama, pada akhirnya tidak takut lagi. Dan ketika itu terjadi, kekuasaan yang dibangun di atas rasa takut akan tumbang oleh gelombang keberanian yang tak lagi bisa dihentikan.
Saya ingin menutup artikel ini dengan sebuah teori dalam neuroendokrinologi: teori allostatic load, yang dikenalkan oleh Bruce McEwen dan Eliot Stellar pada tahun 1993. Teori ini menjelaskan bagaimana stres kronis dan ketakutan yang terus-menerus menumpuk sebagai beban biologis dalam tubuh dan otak manusia.
Ketika beban ini melampaui ambang toleransi, sistem akan runtuh—dan yang tersisa bukan lagi kepatuhan, melainkan ledakan. Dalam politik, itu bisa berarti amarah massa, runtuhnya kepercayaan, atau lahirnya revolusi. Jika negara terus menjadikan ketakutan sebagai alat kontrol, maka ia sedang menabung krisis yang hanya menunggu waktu untuk meledak.
*Penulis adalah Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta
Discussion about this post