VATIKAN, RADIANTVOICE.ID – Dunia kini menantikan siapa yang akan menduduki tahta kepausan berikutnya setelah wafatnya Paus Fransiskus. Pemilihan Paus baru ini diperkirakan akan menjadi salah satu proses paling terbuka dan tidak terduga dalam sejarah Gereja Katolik.
Dengan dampak besar terhadap 1,4 miliar umat Katolik Roma di seluruh dunia, keputusan ini tidak hanya akan menentukan arah Gereja, tetapi juga mencerminkan dinamika global dalam tubuh gereja.
Kolegium Kardinal, yang terdiri dari para pemimpin tertinggi Gereja Katolik, akan berkumpul dalam konklaf di Kapel Sistina. Di balik pintu tertutup, mereka akan berdiskusi dan memberikan suara hingga satu nama muncul sebagai penerus resmi.
Yang menarik, sebanyak 80% dari kardinal pemilih merupakan penunjukan langsung dari Paus Fransiskus. Ini berarti mereka tidak hanya akan memilih Paus untuk pertama kalinya, tetapi juga membawa visi yang lebih inklusif dan global ke dalam pemilihan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kurang dari separuh kardinal yang memiliki hak pilih berasal dari Eropa, sebuah perubahan signifikan dari dominasi Eropa dalam sejarah kepausan. Meski begitu, para kardinal ini tidak bisa dikategorikan mutlak sebagai kelompok “progresif” maupun “konservatif”.
Inilah yang membuat prediksi tentang siapa yang akan terpilih menjadi sangat sulit. Nama-nama dari berbagai belahan dunia mulai muncul, termasuk dari Afrika dan Asia—dua kawasan yang mengalami pertumbuhan pesat dalam jumlah umat Katolik.
Apakah dunia akan menyaksikan lahirnya Paus pertama dari Asia atau Afrika? Atau justru wajah lama dari administrasi Vatikan akan kembali memimpin? Daftar kandidat yang tengah diperbincangkan pun mulai mencuat ke publik—siapakah yang akhirnya akan terpilih, dunia menunggu dengan penuh harap.
Berikut adalah daftar kandidat Paus pengganti Paus Fransiskus yang digadang-gadang akan memimpin 1,4 miliar umat Katolik di seluruh dunia yang dilansir dari BBC khusus untuk pembaca setia Radiant Voice.
1. Pietro Parolin (Berkebangsaan Italia, Usia 70th)
Sosok satu ini dikenal bertutur lembut dan merupakan Sekretaris Negara Vatikan di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus — menjadikannya penasihat utama Paus. Jabatan Sekretaris Negara juga membawahi Kuria Romawi, yaitu administrasi pusat Gereja Katolik.
Dengan perannya yang secara efektif menjalankan tugas sebagai wakil Paus, ia dianggap sebagai salah satu kandidat terkuat.
Sebagian pihak menilai bahwa Parolin cenderung lebih mengutamakan diplomasi dan pandangan global ketimbang kemurnian doktrin Katolik. Bagi para pengkritiknya, hal ini dianggap sebagai kelemahan, namun para pendukungnya justru melihatnya sebagai kekuatan.
Meski demikian, ia juga dikenal kritis terhadap legalisasi pernikahan sesama jenis di berbagai negara. Ia menyebut hasil pemungutan suara di Irlandia tahun 2015 yang melegalkan pernikahan sesama jenis sebagai “kekalahan bagi kemanusiaan”.
Meskipun banyak bandar taruhan menjagokannya, Kardinal Parolin sangat menyadari pepatah lama Italia yang menyoroti ketidakpastian dalam proses pemilihan Paus: “Ia yang masuk konklaf sebagai Paus, akan keluar sebagai Kardinal.”
Dari 266 Paus sebelumnya, sebanyak 213 berasal dari Italia. Namun, sudah 40 tahun sejak terakhir kali seorang Paus berasal dari Italia, dan dengan arah kepemimpinan Gereja yang kini menjauh dari dominasi Italia dan Eropa, mungkin belum saatnya lagi bagi Paus asal Italia.
2. Luis Antonio Gokim Tagle (Berkebangsaan Filipina, Usia 67th)
Kardinal Tagle memiliki pengalaman pastoral selama puluhan tahun — yang berarti ia merupakan pemimpin Gereja yang aktif di tengah umat, bukan seorang diplomat Vatikan atau ahli hukum Gereja yang bekerja di balik layar.
Gereja Katolik memiliki pengaruh besar di Filipina, di mana sekitar 80% penduduknya beragama Katolik. Saat ini, negara tersebut mencatat rekor dengan memiliki lima anggota dalam Dewan Kardinal — yang bisa menjadi kekuatan lobi signifikan jika semuanya mendukung Kardinal Tagle.
Ia dianggap sebagai sosok moderat dalam definisi Gereja Katolik, dan dijuluki sebagai “Fransiskus dari Asia” karena kepeduliannya terhadap isu-isu sosial serta simpatinya terhadap para migran — nilai-nilai yang juga dijunjung tinggi oleh Paus Fransiskus.
Tagle menentang hak atas aborsi, menyebutnya sebagai “bentuk pembunuhan” — sejalan dengan sikap resmi Gereja yang menyatakan bahwa kehidupan dimulai sejak pembuahan. Ia juga menentang praktik eutanasia.
Namun, pada tahun 2015 saat menjabat sebagai Uskup Agung Manila, Kardinal Tagle menyerukan agar Gereja meninjau kembali sikapnya yang “terlalu keras” terhadap kaum homoseksual, orang yang bercerai, dan ibu tunggal. Ia menyatakan bahwa kekerasan sikap di masa lalu telah menyebabkan luka mendalam dan membuat banyak orang merasa “dicap”, padahal setiap individu layak mendapat kasih sayang dan penghormatan.
Kardinal Tagle telah dianggap sebagai kandidat paus sejak konklaf tahun 2013, saat Paus Fransiskus terpilih.
Ketika ditanya sepuluh tahun lalu bagaimana ia menanggapi anggapan bahwa dirinya bisa menjadi paus berikutnya, ia menjawab: “Saya anggap itu sebagai lelucon! Itu lucu.”
3. Fridolin Ambongo Besungu (Kebangsaan Kongo, Usia 65th)
Sangat mungkin bahwa paus berikutnya berasal dari Afrika, di mana Gereja Katolik terus mengalami pertumbuhan dengan jutaan anggota baru. Kardinal Ambongo adalah salah satu kandidat terdepan, berasal dari Republik Demokratik Kongo (DRC).
Ia telah menjabat sebagai Uskup Agung Kinshasa selama tujuh tahun, dan diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus.
Ia dikenal sebagai konservatif dalam hal budaya, menolak pemberkatan pernikahan sesama jenis, dan menyatakan bahwa “persatuan antar sesama jenis dianggap bertentangan dengan norma budaya dan secara intrinsik jahat.”
Meskipun Kekristenan adalah agama mayoritas di DRC, umat Kristen di sana menghadapi ancaman kematian dan penganiayaan dari kelompok jihadis Negara Islam dan pemberontak yang terkait. Dalam konteks tersebut, Kardinal Ambongo dipandang sebagai pembela Gereja yang tegas.
Namun dalam sebuah wawancara pada tahun 2020, ia menyuarakan dukungan terhadap pluralitas agama, dengan mengatakan: “Biarlah Protestan tetap menjadi Protestan, dan Muslim tetap menjadi Muslim. Kita akan bekerja sama dengan mereka. Tetapi setiap orang harus menjaga identitasnya sendiri.”
Komentar semacam ini bisa membuat beberapa kardinal bertanya-tanya apakah ia sepenuhnya mengadopsi semangat misi Katolik—yaitu harapan untuk menyebarkan ajaran Gereja ke seluruh dunia.
4. Peter Kodwo Appiah Turkson (Kebangsaan: Ghana, Usia: 76th)
Jika terpilih oleh rekan-rekannya, Kardinal berpengaruh ini juga akan menyandang predikat sebagai paus Afrika pertama dalam 1.500 tahun terakhir. Seperti Kardinal Ambongo, ia pernah menyatakan tidak menginginkan posisi tersebut. “Saya tidak yakin ada orang yang benar-benar bercita-cita menjadi paus,” katanya sebagaimana dilansir dari BBC pada 2013 lalu.
Ketika ditanya apakah Afrika memiliki peluang kuat untuk menyediakan paus berikutnya berdasarkan pertumbuhan Gereja di benua itu, ia mengatakan bahwa paus sebaiknya tidak dipilih berdasarkan statistik, karena “pertimbangan seperti itu justru bisa memperkeruh suasana.”
Ia merupakan orang Ghana pertama yang diangkat menjadi kardinal, yaitu pada tahun 2003 oleh Paus Yohanes Paulus II. Seperti Kardinal Tagle, Kardinal Turkson juga sempat dianggap sebagai kandidat kuat pada konklaf tahun 2013, saat Paus Fransiskus terpilih. Bahkan, para bandar taruhan menjadikannya kandidat favorit sebelum pemungutan suara dimulai.
Sosok gitaris yang dulunya pernah bermain di band funk ini dikenal karena kepribadiannya yang energik. Seperti banyak kardinal dari Afrika, ia cenderung berpandangan konservatif. Namun, ia menentang kriminalisasi hubungan sesama jenis di negara-negara Afrika, termasuk tanah kelahirannya, Ghana.
Dalam wawancara dengan BBC tahun 2023 lalu, saat parlemen Ghana tengah membahas rancangan undang-undang yang memberlakukan hukuman berat terhadap komunitas LGBTQ+, Turkson menyatakan bahwa ia merasa homoseksualitas tidak seharusnya diperlakukan sebagai tindak pidana.
Pada tahun 2012, ia sempat dituduh menyebarkan ketakutan soal penyebaran Islam di Eropa dalam sebuah konferensi uskup di Vatikan. Ia kemudian meminta maaf atas pernyataan tersebut.
5. Peter Erdo (Kebangsaan: Hungaria, Usia: 72 th)
Menjadi kardinal sejak usia 51 tahun, Peter Erdo sangat dihormati di kalangan Gereja di Eropa, setelah dua kali memimpin Dewan Konferensi Uskup Eropa dari tahun 2006 hingga 2016. Ia dikenal baik oleh para kardinal dari Afrika dan telah banyak bekerja dalam membangun hubungan Gereja Katolik dengan Gereja Ortodoks.
Uskup agung Budapest dan primat Hungaria ini tumbuh dalam keluarga Katolik di bawah rezim komunis, dan dianggap sebagai kandidat kompromi yang potensial. Erdo memainkan peran penting dalam dua kunjungan Paus Fransiskus ke Hungaria pada tahun 2021 dan 2023, serta turut ambil bagian dalam konklaf yang memilih Paus Fransiskus dan pendahulunya, Paus Benediktus.
Pandangan konservatifnya mengenai keluarga mendapat dukungan dari sebagian kalangan Gereja, dan ia mampu bermanuver di tengah situasi “demokrasi iliberal” yang dipimpin oleh Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban. Pada krisis migran Eropa tahun 2015, Erdo menyatakan bahwa Gereja tidak akan menampung para migran karena hal itu dianggap setara dengan perdagangan manusia.
6. Angelo Scola (Kebangsaan: Italia, Usia: 83th)
Hanya kardinal berusia di bawah 80 tahun yang dapat memberikan suara dalam konklaf, namun Angelo Scola masih bisa terpilih sebagai paus. Mantan Uskup Agung Milan ini merupakan kandidat unggulan pada konklaf tahun 2013 ketika Paus Fransiskus terpilih. Namun, ia diyakini menjadi korban dari pepatah lama: “masuk konklaf sebagai paus, keluar sebagai kardinal.”
Namanya kembali mencuat menjelang konklaf karena ia akan menerbitkan sebuah buku tentang usia tua minggu ini. Buku tersebut menampilkan kata pengantar yang ditulis oleh Paus Fransiskus, tak lama sebelum beliau dirawat di rumah sakit, di mana ia mengatakan bahwa “kematian bukanlah akhir dari segalanya, tetapi awal dari sesuatu yang baru.”
Ucapan Fransiskus itu menunjukkan kasih sayang yang tulus terhadap Scola, namun para kardinal mungkin menilai fokus Scola pada usia tua kurang cocok untuk sosok paus baru.
7. Reinhard Marx (Kebangsaan: Jerman, Usia: 71 th)
Pemimpin tertinggi Gereja Katolik di Jerman ini juga dikenal sebagai salah satu tokoh dalam lingkaran dalam Vatikan. Uskup Agung Munich dan Freising ini ditunjuk sebagai penasihat saat Paus Fransiskus mulai menjabat pada 2013. Selama 10 tahun, ia menjadi penasihat paus dalam hal reformasi Gereja dan hingga kini masih memimpin upaya reformasi keuangan di Vatikan.
Marx dikenal mendorong pendekatan yang lebih inklusif terhadap kaum homoseksual dan transgender dalam ajaran Katolik. Namun pada 2021, ia sempat mengajukan pengunduran diri akibat kesalahan serius dalam penanganan kasus pelecehan seksual anak di Gereja Katolik Jerman. Pengunduran dirinya tersebut ditolak oleh Paus Fransiskus.
Dua tahun lalu, Marx keluar dari Dewan Kardinal—badan penasihat paling penting bagi Paus—yang oleh sebagian kalangan di Jerman dianggap sebagai kemunduran dalam kariernya di Gereja.
8. Marc Ouellet (Kebangsaan: Kanada, Usia: 80 th)
Kardinal Ouellet telah dua kali disebut-sebut sebagai calon potensial Paus, yakni pada tahun 2005 dan 2013. Selama bertahun-tahun, ia memimpin Dikasteri untuk Para Uskup di Vatikan—lembaga yang bertanggung jawab atas pemilihan kandidat uskup di seluruh dunia. Peran ini membuatnya sangat berpengaruh dalam membentuk struktur hierarki Gereja Katolik masa depan.
Namun, sebagai kardinal yang telah berusia 80 tahun, ia tidak akan dapat berpartisipasi dalam konklaf pemilihan Paus, yang bisa menjadi hambatan besar bagi peluangnya. Ouellet dikenal sebagai sosok konservatif dengan pandangan modern. Ia sangat mendukung prinsip selibat bagi para imam dan menentang penahbisan perempuan sebagai imam. Meski demikian, ia menyerukan peran yang lebih besar bagi perempuan dalam pengelolaan Gereja Katolik, dengan menyatakan bahwa “Kristus adalah laki-laki, Gereja adalah perempuan”.
9. Robert Prevost (Kebangsaan: Amerika Serikat, Usia: 69 th)
Akankah takhta kepausan untuk pertama kalinya jatuh ke tangan orang Amerika?
Kardinal Robert Prevost, yang lahir di Chicago, dipandang memiliki banyak kualitas yang dibutuhkan untuk menduduki posisi tersebut.
Dua tahun lalu, Paus Fransiskus menunjuk Prevost untuk menggantikan Marc Ouellet sebagai prefek Dikasteri untuk Para Uskup di Vatikan—tugas penting yang bertanggung jawab atas pemilihan generasi uskup berikutnya di seluruh dunia. Ia memiliki pengalaman panjang sebagai misionaris di Peru, sebelum kemudian diangkat menjadi uskup agung di negara tersebut.
Meski berasal dari Amerika Serikat, Prevost juga dikenal karena kiprahnya sebagai kepala Komisi Kepausan untuk Amerika Latin. Ia dianggap sebagai seorang reformis. Namun, pada usia 69 tahun, beberapa pihak mungkin menganggapnya masih terlalu muda untuk menjadi Paus.
Masa kepemimpinannya sebagai uskup agung di Peru juga sempat diwarnai oleh tuduhan menutup-nutupi kasus pelecehan seksual, meski tuduhan tersebut telah dibantah oleh keuskupan yang ia pimpin.
10. Robert Sarah (Kebangsaan: Guinea, Usia: 79th)
Kardinal Robert Sarah sangat dihormati oleh kalangan konservatif di Gereja, dikenal karena kesetiaannya terhadap doktrin dan liturgi tradisional, serta sering dianggap menentang kecenderungan reformis Paus Fransiskus.
Ia putra dari seorang pemetik buah dan menjadi uskup agung termuda pada usia 34 tahun ketika Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya sebagai prelatus di Conakry, Guinea. Ia memiliki karir yang panjang dan mengesankan, pensiun pada tahun 2021 sebagai kepala kantor Vatikan yang mengawasi ritus liturgi Gereja Katolik. Meski tidak dianggap sebagai calon favorit untuk kepausan, ia bisa menarik dukungan kuat dari kardinal-kardinal konservatif.
11. Pierbattista Pizzaballa (Kebangsaan: Italia, Usia: 60th)
Ditahbiskan di Italia pada usia 25 tahun, Pizzaballa pindah ke Yerusalem pada bulan berikutnya dan telah tinggal di sana sejak saat itu. Paus Fransiskus mengangkatnya sebagai Patriark Latin Yerusalem lima tahun lalu dan kemudian menjadi kardinal, dan Pizzaballa sering menyebut kota tersebut sebagai “jantung kehidupan dunia ini”.
Kardinal-kardinal lainnya pasti terkesan dengan pemahaman mendalamnya tentang orang Israel dan Palestina serta perang yang sedang berlangsung di Gaza. Namun, usia relatif muda dan kurangnya pengalaman sebagai kardinal mungkin menjadi kendala baginya, begitu juga kedekatannya dengan Paus Fransiskus di antara kardinal yang mencari perubahan arah.
12. Michael Czerny (Kebangsaan: Kanada, Usia: 78th)
Kardinal Czerny diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus dan seperti Paus, ia adalah seorang Yesuit, sebuah ordo terkemuka dalam Gereja Katolik yang dikenal karena kerja amal dan misi di seluruh dunia. Meskipun ia lahir di Cekoslowakia, keluarganya pindah ke Kanada saat ia berusia dua tahun. Ia telah bekerja luas di Amerika Latin dan Afrika, di mana ia mendirikan Jaringan AIDS Yesuit Afrika dan mengajar di Kenya.
Czerny populer di kalangan progresif di Gereja dan dianggap dekat dengan Paus Fransiskus. Ia saat ini menjabat sebagai kepala Dicastery Vatikan untuk Promosi Pembangunan Manusia yang Integral. Meskipun merupakan kandidat yang kuat, tampaknya tidak mungkin para kardinal akan memilih Paus Yesuit kedua berturut-turut (RED).
Discussion about this post