JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Kajian Ramadhan Puspoll Indonesia mengangkat isu pembangunan desa di era pemerintahan Prabowo Subianto dalam diskusi bertajuk “Nasib Pembangunan Desa di Pemerintahan Prabowo Subianto” yang digelar di Kantor Puspoll Indonesia, Tebet, Jakarta, pada Selasa (11/2/2025). Dalam pemaparan Muhammad Syukri, Ph.D., ia menyoroti ketimpangan alokasi dana desa yang lebih berfokus pada infrastruktur dibanding kesejahteraan masyarakat.
Syukri mengungkapkan bahwa sejak tahun 2000, konsep SDGs Desa diperkenalkan untuk menggeser fokus pembangunan dari infrastruktur ke aspek lain yang lebih menyentuh masyarakat. Namun, berdasarkan studi yang dilakukannya pada 2023 bersama Kompak Australia, alokasi dana desa masih sangat berat ke pembangunan fisik.
“Sebelumnya, sekitar 90% dana desa dialokasikan ke infrastruktur seperti jembatan dan embung. Ini memang baik karena banyak desa yang tertinggal infrastrukturnya, tetapi bagaimana dengan pembangunan manusianya?” ujar Syukri.
Ia juga mengkritisi peran pendamping desa yang seharusnya membantu masyarakat, tetapi justru lebih banyak bekerja untuk pemerintah desa dalam menjalankan proyek-proyek yang sering kali lebih menguntungkan kepentingan politik di pusat.
“Pendamping desa itu justru lebih banyak membantu pemerintah desa membuat laporan dan perencanaan proyek infrastruktur. Padahal, masyarakat desa lebih membutuhkan peningkatan kesejahteraan dan penguatan kelembagaan sosial budaya,” tegasnya.
Selain itu, Syukri juga menyoroti lemahnya pengaruh dana desa terhadap pengurangan kemiskinan. Berdasarkan analisis mantan Direktur SMERU, Sep Suryaadi, ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi di desa yang diharapkan dapat menurunkan kemiskinan justru minim dampaknya dibandingkan periode sebelumnya.
“Dana desa memang membuat desa tampak lebih baik dengan jalan yang bagus dan irigasi yang rapi, tetapi apakah itu meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Ternyata tidak,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti lemahnya kelembagaan desa akibat kebijakan yang lebih berorientasi pada pengawasan ketat dari pusat. Menurutnya, aturan-aturan pelaksanaan Undang-Undang Desa justru memperkuat posisi kepala desa sebagai pemegang kekuasaan tunggal tanpa mekanisme kontrol yang efektif dari masyarakat.
“Korupsi di desa merajalela karena tidak ada yang bisa mengontrol kepala desa, kecuali bupati. Mekanisme lokal yang dulu ada untuk menyelesaikan konflik di desa malah diabaikan oleh regulasi yang ada,” kata Syukri.
Di akhir paparannya, ia mengkritik sistem pengawasan yang diterapkan pemerintah terhadap desa melalui berbagai instrumen digital seperti sistem keuangan desa dan sistem monitoring pemerintah. Ia menilai hal ini lebih berorientasi pada kontrol ketat dari pusat ketimbang memberi ruang bagi desa untuk berkembang secara mandiri.
“Pemerintah pusat bisa melihat langsung uang di desa dipakai untuk apa, tapi sayangnya, desa sendiri tidak punya banyak pilihan karena mereka hanya bisa memilih dari apa yang sudah ditentukan oleh pusat,” pungkasnya (RED).
Discussion about this post