JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Anggota Komisi II dan Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan, menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Pemilu melalui pendekatan Omnibus Law. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Mencari Format Pemilu Terbaik 2029 Melalui Revisi Paket UU Politik: Menakar Tantangan Partai Politik Non-Parlemen”, yang diadakan oleh DPP KNPI di Gedung Joeang 45, Cikini, Jakarta, pada Jumat (17/1/2025).
Irawan menyatakan bahwa revisi UU Pemilu telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025. Ia mengungkapkan bahwa metode Omnibus Law dipilih untuk mengatasi konflik norma, kebingungan interpretasi, dan redundansi dalam pengaturan pemilu.
“Dengan Omnibus Law, proses pembahasan undang-undang akan lebih efisien, baik dari segi waktu maupun biaya,” jelasnya.
Menurut Irawan, pembahasan revisi UU Pemilu harus dipercepat agar tidak bias oleh kepentingan politik. Ia menyadari bahwa setiap undang-undang yang dibahas, terutama yang berkaitan dengan paket politik, memiliki bobot politik yang tinggi.
“Kita berusaha meminimalisir dominasi kepentingan partai dengan mendorong proses ini lebih cepat,” katanya.
Ia juga menyoroti beberapa isu besar dalam revisi UU Pemilu, termasuk presidential threshold dan parliamentary threshold. Ahmad menilai bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi terkait isu-isu ini menjadi salah satu tantangan besar yang perlu disikapi dalam revisi undang-undang.
“Keputusan MK bersifat final dan mengikat, tetapi harus ada konsistensi dalam putusannya,” ujarnya.
Irawan mengkritisi ketidakpastian yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan isu-isu terkait pemilu. Ia mencontohkan perubahan sikap MK terhadap presidential threshold, yang sebelumnya dianggap konstitusional tetapi belakangan diputuskan berbeda.
“Hal seperti ini harus diantisipasi dengan adanya pembatasan dalam ranah kebijakan pembentukan undang-undang,” tegasnya.
Selain itu, Irawan juga menyoroti isu terkait partai politik non-parlemen, termasuk wacana penggabungan partai kecil yang tidak lolos ambang batas parlemen.
“Daripada terus-menerus tidak lolos, lebih baik ada opsi untuk penggabungan. Ini salah satu solusi yang perlu kita kaji dalam revisi undang-undang,” ujarnya.
Irawan juga menyebutkan perlunya merevisi aturan pencalonan dalam pemilu, termasuk syarat partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Ia menekankan bahwa revisi harus dilakukan jauh sebelum tahapan Pemilu 2029 dimulai, sesuai dengan arahan MK.
Dalam konteks internasional, Irawan membandingkan ambang batas pemilu di Indonesia dengan 40 negara lain yang menggunakan sistem proporsional.
“Angka electoral threshold di dunia sangat beragam, mulai dari 0,6% hingga 10%, seperti di Turki. Kita perlu mempertimbangkan angka yang ideal untuk Indonesia,” katanya.
Irawan juga menyoroti tantangan regenerasi calon legislatif, khususnya keterwakilan perempuan. Ia mengakui bahwa partai politik sering menghadapi kesulitan dalam memenuhi kuota caleg perempuan.
“Kita membutuhkan organisasi yang mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin nasional untuk menjawab tantangan regenerasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Irawan mengajak publik untuk terlibat aktif dalam pembahasan revisi UU Pemilu. “Revisi ini bukan hanya untuk partai politik, tetapi untuk memperkuat demokrasi kita ke depan,” katanya.
Sebagai penutup, Irawan menegaskan bahwa revisi UU Pemilu harus mencerminkan kepentingan nasional, bukan hanya kepentingan segelintir pihak.
“Kita harus memastikan bahwa perubahan ini benar-benar membawa manfaat bagi stabilitas politik dan kualitas demokrasi di Indonesia,” pungkasnya (RED).
Discussion about this post