Oleh: Miftahul Arifin*
Judul Buku : Green Democracy
Penulis : Sultan Baktiar Najamudin
Penerbit : Green Publisher
Tahun : 2024
Halaman : 360
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” begitu kira-kira bunyi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3. Juga Pasal 33 ayat 4 berbunyi; “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Buku “Green Democracy” menurut saya di ilhami dari Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 dan 4. Buku ini layak dibaca karena menawarkan suatu ide yang solutif, progresif sekaligus inovatif, dimana demokrasi diletakkan untuk memproduksi dan menghasilkan kebijakan pembangunan yang seimbang dan berkelanjutan.
Sebuah tawaran peta jalan demokrasi yang ideal, berisi keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif dan keseimbangan ekologis untuk menghadirkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi ditengah masyarakat.
Menariknya lagi buku ini ditulis oleh seorang decision maker policy, Sultan Baktiar Najamudin yang merupakan wakil ketua DPD RI periode 2019-2024 dan menjadi ketua DPD RI periode 2024-2029. Kendati demikian penulis juga seakan ingin memberitahu kita semua bahwa keberadaan DPD selama ini acap kali terbaikan yang keberadaanya kurang berdampak karena peran dan wewenangnya yang terbatas.
Sebagai senator, penulis merasakan kalau keberadaan DPD secara politis belum mencerminkan prinsip persamaan dan keadilan dibandingkan saudaranya “DPR” dalam pembagian peran dan wewenang. DPR seakan tidak rela jika harus terjadi share power legislasi dengan DPD, padahal keduanya sama-sama lembaga legislasi. Ini menimbulkan kesan diskriminasi politik yang berdampak pada ketimpangan wewenang dan hak-hak anggota kedua lembaga tersebut.
Keduanya sama-sama mewakili daulat rakyat, sama-sama dipilih lewat pemilihan umum secara langsung dan diberikan mandat imperatif oleh konstitusi. Keduanya memiliki legitimasi politik yang konstitusional tapi tidak dengan kewenangan dan perannya masing-masing lembaga itu.
Sudah selayaknya DPD menuntut hak politiknya yang ideal kepada konstitusi untuk memperkuat kelembagaannya, dengan jalan merevisi Undang-Undang (UU) pembentukan peraturan perundang undangan (PPP) dan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Kedua UU ini perlu direvisi supaya peran poitik legislasi dan pengawasan DPD dan DPR bisa diberikan secara proporsional. Dalam rangka penguatan DPD sudah selayaknya UU MD3 dipisah dari DPR sebagai bentuk perwujudan kolaborasi dan keadilan kekuasaan di legislatif. Saya melihat Inilah insight penting didalam di buku “Green Democracy” ini.
Masa depan demokrasi Indonesia dan otonomi daerah, salah satunya ditentukan dengan terwujudnya kedaulatan rakyat melalui Lembaga DPD yang mempunyai kewenangan proporsional dan mandiri, pelbagai perbedaan yang ada seperti, wilayah, penduduk, kultur, agama, budaya, nilai-niai historis dan lain sebagainya dapat diperjuangkan dan dirumuskan dalam kerangka kebijakan nasional.
Buku setebal 360 halaman ini, penulis juga memberikan banyak perspektif dalam membangun demokrasi yang berkelanjutan melalui pendekatan lingkungan sebagai satu kesatuan dari pembangunan demokrasi. Agenda pembangunan kedepan yang cenderung ekstraktif harus ditinjau kembali dengan memperhatikan keseimbangan ekologis.
Namun Green New Deal sebagai sebuah solusi dalam menanggulangi masalah pemanasan global dan ketimpangan ekonomi belum tercantum secara spesifik dalam buku ini. Padahal Green New Deal mutlak dibutuhkan bangsa Indonesia dalam bentuk perundang-undangan maupun dalam sistem tata Kelola lingkungan.
Green New Deal itu sendiri sebenarnya bukanlah satu undang-undang tunggal, melainkan serangkaian kebijakan ekonomi untuk memberikan kesempatan kerja yang lebih baik, mengurangi polusi iklim, polusi udara dan polusi air, serta menuju masyarakat lebih adil dan baik. Kebijakan Green New Deal tidak hanya fokus pada perubahan iklim namun juga pada isu sosial dan ekonomi, seperti menciptakan lapangan kerja baru dan lebih adil bagi semua.
Merujuk data IPBES (Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) 2018 sebuah badan antar pemerintah independen yang berfokus pada keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem. Menyebutkan Indonesia setiap tahunnya kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar, dan merupakan terbesar di region asia tenggara.
Aktifitas ekstraktif telah memperparah laju pemanasan global, ini disebabkan berdampak menyusutnya hutan yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon dioksida, juga sekaligus mengancam sumber penghidupan puluhan juta masyarakat adat.
Data lain menunjukkan selama periode 2017 hingga 2018, telah terjadi peningkatan jumlah korban bencana, dari yang sebelumnya sebanyak 3.49 juta orang menjadi 9.88 juta orang, jumlah itu naik hampir tiga kali lipat. Ini fakta dari praktik ekosida penghancurann lingkungan yang mengabaikan tata ruang dan lingkungan hidup. Segelintir korporasi yang menguasai jutaan hektar lahan terbukti memperparah intensitas bencana di Indonesia.
Saat ini, sistem ekonomi Indonesia masih mengikuti model lama dan sudah usang “business as usual” yang dibangun berdasarkan pola ekstraktif dengan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis, dengan memberikan prioritas pada keuntungan ekonomi jangka pendek.
Sebagai seorang decision maker policy Sultan B Najamudin dengang DPD nya, sudah saatnya menjadi pelopor dan penggerak utama untuk memperjuangkan agar “Green New Deal” menjadi sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) dan masuk skala prioritas di parlemen. Ini akan sangat bagus jika Green New Deal menjadi salah satu agenda prioritas utama DPD.
Berkaca dari Amerika yang telah melakukannya lebih awal, dan saat ini Green New Deal sudah mulai berjalan, ini terlihat dari kebijakannya yang melakukan transisi menuju energi yang lebih bersih, dan pemberdayaan masyarakatnya ditandai dengan dimulainya era kesetaraan dan kesejahteraan. Alexandria Ocasio Cortez dan Ed Markey, seorang anggota parlemen dan senator yang menjadi pelopor diloloskannya Green New Deal menjadi sebuah undang-undang melalui kongres Amerika ke-116.
Di California juga sudah melakukan hal yang sama dengan memberlakukan undang-undang Beli Produk Bersih. Ini merupakan kerja koalisi buruh dan lingkungan di seluruh negara bagian. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ketika California membelanjakan uang pembayar pajak untuk baja, kaca, dan insulasi untuk proyek infrastruktur, negara bagian harus memprioritaskan perusahaan yang membatasi polusi iklim di seluruh rantai pasokannya. Berkat undang-undang itu, California sekarang ini memanfaatkan pengeluarannya untuk mendorong manufaktur yang ramah iklim dan penciptaan lapangan kerja lokal.
Selain itu, dalam kontek Indonesia yang tak kalah penting, perlu didorong dan disegerakan disahkannya RUU Masyarakat Adat, untuk memastikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan adat baik dalam kontek Negara ataupun di ranah masyarakat Adat. Pengesahan RUU masyarakat adat menjadi bagian dari menyelamatkan rakyat Indonesia.
Data AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menunjukkan, di tahun 2019 terdapat 125 komunitas adat yang menjadi korban konflik sumberdaya dan tersebar di hampir sepertiga wilayah Indonesia. Sementara HuMa memperlihatkan bahwa di tahun 2018 merebak ratusan konflik sumberdaya alam yang melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta hektar. Sedikitnya 176.637 warga adat menjadi korban atas konflik tersebut.
Karena itu RUU Masyarakat Adat harus diletakkan sebagai landasan hukum yang mengikat Negara, Investasi dan Masyarakat Adat, hal ini untuk memastikan interaksi dan praktik antar ketiganya didasarkan pada Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan.
Terakhir, sebagai pembaca saya sangat mengapresiasi hadirnya buku “Green Democracy” ini. Semoga buku ini menjadi madzhab demokrasi Indonesia dalam mencapai visi negara kesejahteraan yang pro pertumbuhan, pro pemuda, pro masyarakat miskin dan pro lingkungan. Juga sekaligus sebagai peta jalan membangun menuju Indonesia emas 2045, seperti yang diharapkan penulis.
*Penulis adalah Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi
Discussion about this post