JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Lalu Hadrian Irfani, merespons peluncuran buku Sejarah Indonesia edisi terbaru dengan mengajak masyarakat membaca secara cermat dan menelaah isinya. Ia juga mempersilakan publik memberikan kritik dan saran sebagai bagian dari penyempurnaan karya tersebut.
Menurut Lalu Hadrian, kehadiran buku sejarah baru merupakan langkah penting dalam memperkaya literasi dan pemahaman masyarakat mengenai perjalanan bangsa Indonesia. Karena itu, ia membuka ruang seluas-luasnya bagi akademisi, sejarawan, pemerhati pendidikan, maupun masyarakat umum untuk menyampaikan masukan secara terbuka.
“Silakan masyarakat membaca dan menelaah Buku Sejarah Indonesia yang baru. Jika ada kritik, masukan, atau catatan, itu justru penting sebagai bagian dari proses penyempurnaan,” ujar Lalu Hadrian, Senin (15/12/2025).
Ketua DPW PKB NTB tersebut menegaskan, apabila ditemukan kesalahan data, kekeliruan penulisan, atau penafsiran sejarah yang kurang tepat, pemerintah—dalam hal ini Kementerian Kebudayaan—wajib melakukan revisi.
“Kesalahan dalam penulisan buku adalah hal yang wajar. Tidak ada karya yang sepenuhnya sempurna. Karena itu, pemerintah tidak perlu malu untuk melakukan revisi jika memang ditemukan kekeliruan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Lalu Hadrian menilai sikap terbuka terhadap kritik merupakan cerminan tata kelola kebudayaan dan pendidikan yang sehat. Revisi buku sejarah, menurutnya, justru menunjukkan komitmen negara dalam menghadirkan narasi sejarah yang akurat, berimbang, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Yang terpenting adalah keberanian untuk memperbaiki. Buku sejarah harus menjadi rujukan yang mendidik, bukan sekadar dokumen yang dipertahankan meski terdapat kesalahan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kementerian Kebudayaan meluncurkan buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global pada Minggu (14/12/2025). Buku tersebut disusun dalam 10 jilid oleh 123 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di Indonesia.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan, sepuluh jilid tersebut tidak dimaksudkan untuk menuliskan sejarah Indonesia secara menyeluruh, melainkan sebagai ringkasan perjalanan bangsa dari masa prasejarah hingga era Reformasi (RED).




























Discussion about this post