JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Fenomena judi online (judol) kini semakin memprihatinkan karena tidak hanya melibatkan masyarakat umum, tetapi juga penerima bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, menilai kondisi ini sebagai tanda darurat sosial-ekonomi digital yang perlu segera ditangani secara sistematis oleh pemerintah pusat dan daerah.
“Sangat miris ketika ada penerima bansos yang justru menjadi pemain judi online. Dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dasar, malah habis untuk aktivitas ilegal,” ujar Sukamta di Jakarta, Senin (27/10/2025).
Temuan terbaru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan, ada sekitar 600.000 penerima bansos yang terindikasi melakukan transaksi terkait judi online. Angka ini menimbulkan kekhawatiran baru mengenai penyalahgunaan dana publik dan lemahnya pengawasan sosial terhadap penerima bantuan.
Sukamta mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menindaklanjuti temuan PPATK tersebut dengan menertibkan penerima bansos yang terbukti terlibat aktivitas perjudian daring. Menurutnya, langkah ini harus diikuti oleh pemerintah daerah lain agar program bantuan sosial benar-benar tepat sasaran.
“Pemprov harus berkoordinasi dengan PPATK, Kemensos, dan aparat penegak hukum agar bansos tidak disalahgunakan. Ini soal tanggung jawab sosial dan moral negara terhadap rakyat miskin,” tegas politisi PKS asal Daerah Pemilihan DI Yogyakarta itu.
Selain menimbulkan kerugian ekonomi, praktik judi online juga menyebabkan kerusakan sosial di tingkat rumah tangga dan komunitas. Banyak pemain judol dari kalangan masyarakat menengah ke bawah terjerat utang, mengalami konflik keluarga, bahkan depresi akibat kekalahan dan tekanan finansial.
“Judi online memicu siklus kemiskinan baru. Mereka yang sudah rentan ekonomi semakin terpuruk karena kehilangan penghasilan dan kestabilan sosial,” ujar Sukamta.
Ia menambahkan, generasi muda dan anak-anak kini juga menjadi korban karena mudahnya akses ke aplikasi judi berbasis digital. Data Kejaksaan Agung menunjukkan, pelaku judi daring di Indonesia bahkan terdapat anak usia sekolah dasar (SD) yang sudah bermain slot daring kecil-kecilan.
Perlu Literasi Digital dan Intervensi Sosial
Sukamta menilai, penanganan judi online tidak bisa hanya melalui pendekatan hukum, tetapi harus disertai intervensi sosial dan edukasi digital. Menurutnya, keluarga, sekolah, dan komunitas lokal harus aktif melakukan pendampingan serta literasi keuangan dan digital kepada kelompok rentan.
“Pendidikan digital harus dimulai dari rumah. Masyarakat harus paham bahwa platform judi online dirancang untuk membuat pemain terus kalah, bukan kaya,” katanya.
Ia juga mendorong Kementerian Sosial dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk membuat program rehabilitasi dan edukasi digital bagi masyarakat miskin dan penerima bantuan sosial, agar tidak mudah terjebak ke dalam permainan ilegal.
Lebih jauh, Sukamta memperingatkan bahwa maraknya judi online dapat berujung pada kerugian ekonomi negara dan gangguan stabilitas finansial nasional. Dana yang berputar di platform ilegal ini tidak tercatat dalam sistem ekonomi formal, sehingga mengurangi potensi penerimaan pajak dan menambah risiko keuangan gelap.
“Judi online adalah ancaman sosial sekaligus ekonomi nasional. Bila tidak dikendalikan, dampaknya bukan hanya pada individu, tapi juga keuangan negara,” pungkasnya (RED).































Discussion about this post