JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Lembaga riset ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) merilis hasil evaluasi satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka di bidang ekonomi. Berdasarkan analisis big data media sosial, mayoritas publik menunjukkan sikap kritis terhadap program-program ekonomi pemerintah, terutama Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dari hasil pemantauan INDEF, sebanyak 62% netizen menyuarakan kritik tajam terhadap pelaksanaan program pemerintahan Prabowo-Gibran. Isu utama yang menjadi perhatian publik adalah kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan anggaran dan praktik korupsi dalam program berskala besar.
“Kekhawatiran publik muncul karena setiap program dengan anggaran besar selalu dikaitkan dengan risiko korupsi. Namun di sisi lain, banyaknya kasus korupsi yang terungkap juga diapresiasi sebagai bukti pemerintah bekerja,” ujar Wahyu Tri Utomo, Peneliti Continuum INDEF, Kamis (23/10/2025).
Program Makan Bergizi Gratis Paling Banyak Disorot Netizen
Berdasarkan analisis big data Continuum INDEF, program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi topik paling ramai dibicarakan dengan 183.723 percakapan di media sosial. Dari total percakapan itu, 76,9% bernada negatif, sebagian besar terkait kasus keracunan makanan dan sorotan terhadap struktur organisasi Badan Gizi Nasional.
Sebaliknya, program Sekolah Rakyat justru mendapatkan 77,5% sentimen positif, karena dianggap memperluas akses pendidikan bagi keluarga miskin dan masyarakat di pelosok daerah.
“Makan Bergizi Gratis menjadi program dengan eksposur tertinggi dan sentimen negatif paling besar. Pemerintah perlu melakukan pembenahan menyeluruh, termasuk sertifikasi ketat dan transparansi dalam pengelolaan anggaran,” jelas Wahyu.
Diplomasi Global Dinilai Aktif, Reformasi Ekonomi Masih Lemah
INDEF juga menyoroti kebijakan luar negeri Presiden Prabowo yang dinilai sangat aktif. Selama setahun menjabat, Prabowo telah melakukan tiga kali reshuffle kabinet dan 70% kunjungannya ke luar negeri, yang mencerminkan fokus besar pada diplomasi global dan penguatan posisi strategis Indonesia di kancah internasional.
Meski begitu, Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto menilai pemerintah perlu memastikan agar kerja sama internasional yang gencar dilakukan benar-benar berdampak terhadap perekonomian nasional.
“Tantangan besar ke depan adalah bagaimana menjaga keseimbangan hubungan dengan Amerika Serikat, Tiongkok, dan BRICS, tanpa kehilangan fokus pada penguatan ekonomi domestik,” ujarnya.
Eko menambahkan, program seperti MBG dan Dana Abadi (Danantara) memerlukan tata kelola transparan dan akuntabel. INDEF menilai pengelolaan SWF Indonesia perlu mengacu pada praktik global Santiago Principles untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Pertumbuhan Ekonomi Stabil, Tapi Belum Ada Perubahan Struktural
Ekonom Senior INDEF M. Fadhil Hasan menilai, meski indikator makroekonomi menunjukkan hasil positif — pertumbuhan ekonomi 5,12% (yoy), inflasi di bawah 3%, dan pengangguran menurun — namun belum ada perubahan struktural yang berarti.
“Capaian ekonomi saat ini lebih merupakan kelanjutan dari kebijakan era sebelumnya, bukan hasil reformasi baru. Belum ada akselerasi pertumbuhan yang signifikan,” tegas Fadhil.
Ia menambahkan, investasi dalam negeri memang meningkat, tetapi arus investasi asing langsung (FDI) justru melambat, dan struktur ekspor masih bergantung pada komoditas primer seperti batu bara, CPO, dan nikel.
Analisis big data INDEF terhadap delapan program prioritas (Asta Cita) juga menunjukkan hilirisasi industri menjadi sektor dengan sentimen negatif tertinggi kedua setelah MBG.
“Temuan ini menunjukkan lemahnya strategi komunikasi publik pemerintah dalam mengelola persepsi terhadap capaian ekonomi,” kata Fadhil.
“Pemerintah perlu memperkuat komunikasi berbasis data agar masyarakat memahami hasil kerja secara objektif,” pungkasnya (RED).































Discussion about this post