JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Komisi VIII DPR RI mengingatkan pemerintah agar tidak meremehkan fase transisi tata kelola ibadah haji 2026 yang kini berpindah dari Kementerian Agama (Kemenag) ke Kementerian Haji dan Umrah (KHU). Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Haeny Relawati Rini Widyastuti, menilai proses peralihan ini menyimpan potensi risiko serius jika tidak diantisipasi sejak awal.
Haeny menegaskan bahwa transisi kelembagaan dan operasional haji bukan sekadar pergantian nomenklatur, melainkan perubahan sistemik yang menyentuh seluruh aspek layanan jamaah — mulai dari SDM, logistik, hingga alih aset.
“Perubahan tata kelola ini ibarat membangun rumah baru dengan pondasi lama. Harus hati-hati, karena kalau terburu-buru bisa berdampak langsung pada jamaah,” ujar Haeny di Jakarta, Kamis (23/10).
Politisi Golkar dari Dapil Jawa Timur IX itu menguraikan tiga sektor rawan yang wajib menjadi fokus KHU: persiapan teknis, kelembagaan dan SDM, serta logistik dan aset haji.
Menurutnya, waktu yang tersisa hanya enam bulan sebelum pelaksanaan haji 2026 menjadikan KHU harus bekerja ekstra cepat. Ia menilai, potensi keterlambatan tender, akomodasi, maupun pengaturan transportasi dapat memengaruhi kualitas layanan bagi ratusan ribu calon jamaah haji.
Selain itu, pembangunan birokrasi baru di KHU dinilai membutuhkan waktu dan strategi khusus. Haeny mengingatkan pentingnya transfer pengalaman dari Kemenag agar KHU tidak kehilangan jejak pengetahuan institusional.
“Kemenag punya pengalaman panjang dalam urusan haji. Tanpa alih pengetahuan yang terstruktur, KHU bisa kehilangan arah di lapangan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti proses pengalihan aset haji yang melibatkan asrama, embarkasi, rumah sakit haji, hingga fasilitas penunjang lainnya di berbagai daerah. Menurutnya, tahap inventarisasi dan serah terima harus dilakukan secara transparan dan akuntabel untuk menghindari konflik administrasi antar lembaga.
Haeny mengingatkan, berdasarkan data tahun 2025, kuota jamaah haji Indonesia mencapai 221.000 orang dan dana kelolaan BPKH sebesar Rp171,64 triliun. Dengan angka sebesar itu, kesalahan kecil dalam manajemen bisa berdampak luas terhadap pelayanan jamaah.
Sebagai langkah konkret, ia mengusulkan pembentukan Satgas Transisi Haji 2026 yang beranggotakan gabungan pegawai Kemenag dan KHU untuk menjamin kelancaran operasional.
“Satgas ini bisa menjadi jembatan agar pelaksanaan haji tidak terganggu meski sistemnya sedang berubah,” tambahnya.
Haeny menekankan, DPR RI akan terus mengawal proses transisi tata kelola haji agar seluruh kebijakan pemerintah berorientasi pada kepentingan jamaah.
“Kami di Komisi VIII akan terus mengawasi. Jangan sampai perubahan besar ini justru membebani jamaah, padahal tujuannya adalah memperbaiki kualitas layanan,” pungkasnya.
Dengan pengawasan ketat DPR dan koordinasi lintas kementerian, diharapkan penyelenggaraan Haji 2026 dapat menjadi momentum pembenahan menyeluruh, bukan sumber masalah baru (RED).






























Discussion about this post