Oleh : Ahmadie Thaha*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Ada yang lucu sekaligus getir di republik kita tercinta. Seorang jurnalis yang ngepos di Istana, Diana Valencia, tiba-tiba “dieksekusi” secara administratif. Alasannya, hanya gara-gara dia mengajukan pertanyaan ke Presiden untuk meminta konfirmasi soal Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan bikin banyak anak bangsa sakit perut berjamaah.
Pesan Diana, jurnalis CNN Indonesia, di grup WhatsApp rekan-rekannya singkat saja, “Selamat malam, kakak². Per malam ini saya bukan wartawan istana lagi, karena ID card sudah diambil oleh Biro Pers, Media dan Informasi karena saya dinilai bertanya di luar konteks acara.” Waduh, BMG bukan cuma bikin keracunan massal, tapi juga bikin jurnalis korban keracunan politik.
Waduh, waduh lagi. Rupanya pertanyaan tentang gizi bisa dianggap out of context di istana, hanya karena Prabowo mungkin dianggap lebih senang bicara soal kunjungannya ke luar negeri atau apalah. Mungkin pula, bagi sebagian pejabat, “konteks acara” itu cuma foto-foto formal, senyum kaku, dan mikrofon yang dipakai bukan untuk bertanya, tapi untuk karaoke protokol.
Padahal, Presiden Prabowo setelah itu bicara juga ihwal keracunan BMG. Dengan wajah serius, dia berkomentar: “Kita harus waspada, jangan sampai keracunan ini dipolitisasi.” Nah, di satu sisi Biro Pers Istana “melarang” jurnalis bertanya, tapi di sisi lain Presiden sendiri bicara soal yang ditanya si wartawan.
Tapi, komentar Presiden justru memunculkan pertanyaan balik: bukankah MBG sendiri lahir dari proses politik, bahkan menjadi janji manis di panggung kampanye Pilpres? Kalau janji politik kemudian bermasalah di lapangan, siapa yang berhak bertanya kalau bukan jurnalis? Atau kita tunggu sampai ayam dapur MBG ikut keracunan juga, barulah itu boleh dibicarakan?
Tak tunggu lama, Dewan Pers langsung menegaskan agar akses liputan Diana dikembalikan, dengan membiarkannya meliput kembali di lingkungan Istana. Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, bahkan mengingatkan bahwa kemerdekaan pers dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Melanggar UU ini, ancamannya adalah pidana.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) juga ikut bersuara, menilai pertanyaan Diana ke Presiden “sepenuhnya sesuai kode etik jurnalistik” dan menyangkut kepentingan publik. AJI Jakarta menambahkan: ini bukan sekadar soal seorang wartawan, tapi soal “hak publik mendapatkan informasi”.
LBH Pers lebih keras lagi: tindakan penyitaan ID wartawan bisa dipandang sebagai penghalangan kerja jurnalistik —dan itu ada ancaman pidananya sampai dua tahun penjara. Jadi yang out of context sebetulnya bukan pertanyaan Diana, melainkan logika Biro Pers yang lebih cepat mencabut kartu wartawan daripada mencabut akar masalah keracunan.
Sungguh ironis. Di negara lain, jurnalis justru dianggap “penjaga pintu demokrasi”. Di Amerika Serikat, wartawan boleh mengajukan pertanyaan pedas bahkan kepada presiden yang temperamen seperti Trump. Di Inggris, jurnalis bisa mengejar Perdana Menteri sampai pintu rumahnya.
Di Korea Selatan, media diberi ruang luas untuk menguliti kebijakan publik —mulai dari subsidi beras sampai skandal politik. Tapi di sini? Baru nanya soal gizi gratis saja yang jelas-jelas bikin keracunan di mana-mana, sudah dianggap mengganggu agenda negara. Jangan-jangan nanti wartawan yang bertanya soal harga cabe dianggap “provokator cabai rawit”.
Mari kita refleksikan sedikit dengan kacamata akademis. Program MBG ini, pada dasarnya, adalah kebijakan sosial berbasis janji politik. Dalam literatur kebijakan publik, ada yang disebut policy feedback effect yaitu ketika program politik menyentuh langsung perut rakyat, ia tidak bisa steril dari kritik.
Jika program MBG gagal —misalnya memicu keracunan massal— maka kritik bukan sekadar wajar, tapi “kewajiban etis” bagi jurnalis. Data awal menunjukkan beberapa dapur MBG memang belum memenuhi standar higiene dan sanitasi. Pemerintah buru-buru mewajibkan sertifikasi dapur MBG. Bagus sih, tapi mengapa harus menunggu korban?
Lihat perbandingannya. Di Jepang: program makan siang sekolah (kyuushoku) dijalankan sejak 1950-an. Dikelola oleh ahli gizi profesional, dapurnya diaudit ketat, dan menunya ditentukan berdasarkan standar kesehatan nasional. Anak-anak bahkan belajar nutrisi di kelas, jadi ada aspek edukasi.
Kemudian di India, program Midday Meal Scheme melayani lebih dari 120 juta anak tiap hari. Walau pernah ada kasus keracunan, pemerintah merespons dengan standar kualitas makanan yang lebih ketat, sistem pengawasan masyarakat, dan transparansi distribusi bahan pangan. Masyarakat dilibatkan penuh.
Pemerintah Brasil, melalui Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE), mensyarakatkan minimal 30 persen bahan makanan harus dibeli dari petani lokal. Sehingga, dengan demikian, progman makan siang gratis bagi jutaan siswa bukan hanya soal gizi, tapi juga pemberdayaan ekonomi rakyat.
Tetangga dekat Malaysia memiliki Rancangan Makanan Tambahan untuk anak sekolah dasar sejak 1979. Sudah lama banget ya, sementara kita baru memulainya dengan penuh tragedi. Program ini diawasi langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan, dengan syarat pemasok makanan wajib tersertifikasi.
Kembali ke pencabutan kartu liputan Diana Valencia di Istana, itu sebetulnya bukan sekadar kasus wartawan diusir. Ia memunculkan gejala serius: “demokrasi kita sedang sakit perut.” Kalau jurnalis tidak boleh bertanya soal gizi, lalu publik akan mendapat informasi dari siapa? Dari baliho? Dari akun medsos buzzer yang lebih sibuk membagikan pantun politik?
Kalau benar pemerintah takut bahwa kasus keracunan MBG akan dipolitisasi, seharusnya jawab dengan data, dengan transparansi, dengan evaluasi terbuka. Bukan malah membungkam pertanyaan. Karena dalam demokrasi, membungkam pertanyaan sama saja dengan menutup mulut rakyat. Dan rakyat yang lapar, apalagi keracunan, mulutnya jangan ditutup —itu bisa bahaya.
Mungkin benar kata seorang akademisi gizi politik (kalau ada istilah itu): kita ini bangsa yang lebih mudah kenyang oleh janji politik ketimbang kenyang oleh makan bergizi. Dan ketika perut rakyat benar-benar bermasalah karena program politik yang tergesa-gesa, wartawanlah yang pertama kali jadi sasaran.
Padahal, bukankah kritik itu sejenis vitamin demokrasi? Kalau vitamin ini disita bersama ID Card wartawan, jangan-jangan nanti yang keracunan bukan hanya anak-anak penerima MBG, tapi juga sistem demokrasi kita sendiri.
Jadi, kalau ada pejabat bilang, “keracunan BMG jangan dipolitisasi”, mungkin kita perlu balik bertanya: “Lha, siapa dulu yang menjanjikan MBG dalam kampanye-kampanye politiknya?”
Kalau wartawan dilarang bertanya, ya biarlah rakyat yang menjawab dengan cara mereka sendiri. Dan itu biasanya jauh lebih pedas daripada pertanyaan wartawan mana pun.
*Penulis adalah Wartawan Senior
Discussion about this post