JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Perempuan Jaga Indonesia (PJI) menuding negara telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dalam penanganan demonstrasi pro demokrasi Agustus 2025. Dari penangkapan sewenang-wenang hingga pembatasan hak menyusui bagi tahanan perempuan, deretan temuan PJI menyoroti praktik represif aparat yang dinilai mencederai prinsip keadilan.
Menurut PJI, unjuk rasa yang menewaskan 10 orang dan membuat satu orang dalam kondisi koma seharusnya menjadi perhatian serius negara. Namun, alih-alih membentuk tim investigasi independen, aparat justru sibuk memburu, menangkap, dan mengkriminalisasi puluhan aktivis, mahasiswa, hingga warga sipil.
“Negara bukan hanya gagal melindungi hak warganya, tetapi juga menambah penderitaan dengan memperlakukan aktivis secara tidak manusiawi,” ungkap PJI dalam keterangan resmi, Selasa (23/9).
PJI yang melakukan kunjungan ke Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri menemukan fakta mencengangkan. Para tahanan pro demokrasi mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak, di antaranya:
-
Dilarang membawa alat tulis dengan alasan sepele, padahal menulis bisa menjadi cara mengurangi tekanan psikis.
-
Pembatasan kunjungan dengan aturan yang berubah sewaktu-waktu, membuat keluarga dan pengacara kesulitan bertemu.
-
Hak menyusui terampas, memutus akses bayi terhadap ASI dan menyalahi prinsip perlindungan anak.
-
Tidak ada pendampingan psikologis, meski banyak tahanan mengalami trauma berat.
-
Anak-anak ikut ditahan, bertentangan dengan UU Perlindungan Anak dan standar internasional.
Kasus yang paling disorot adalah penahanan warga hanya karena memiliki buku filsafat. “Di Jawa Timur ada yang ditangkap karena buku Marxisme karya Franz Magnis Suseno. Padahal buku itu justru mengkritik Marxisme,” ungkap PJI.
PJI menyebut tindakan represif aparat bukan sekadar pelanggaran prosedur hukum, melainkan ancaman serius terhadap demokrasi.
“Ketika rakyat ditakut-takuti hanya karena membaca dan berpikir, itu tandanya demokrasi berada di ambang kehancuran,” ujar perwakilan PJI.
Lebih jauh, PJI menegaskan bahwa kriminalisasi atas dasar kepemilikan buku adalah inkonstitusional dan mencederai semangat mencerdaskan bangsa.
Untuk menghentikan praktik represif, PJI mendesak Presiden segera melakukan reformasi Polri dengan perspektif keadilan gender. Selain itu, mereka juga meminta pemerintah lebih serius menangani masalah struktural seperti pengangguran, PHK massal, dan praktik KKN yang melemahkan rakyat.
“Stop proyek-proyek mercusuar yang hanya menambah ketimpangan. Fokuslah pada pemenuhan tuntutan rakyat agar keadilan sosial benar-benar terwujud,” tegas PJI (RED).
Discussion about this post