Oleh: Swary Utami Dewi*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) pada 18 September 2025 menyita 11 buku, yang dianggap mengandung paham anarkisme dan komunisme dari seorang tersangka berinisial GLM, 24 tahun. Alasan penyitaan ini terkait kerusuhan pascademonstrasi di Surabaya dan Sidoarjo pada Agustus 2025. Buku-buku tersebut termasuk Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno, Anarkisme karya Emma Goldman, Kisah Para Diktator karya Jules Archer, dan Strategi Perang Gerilya oleh Che Guevara. Beberapa media besar menyorot peristiwa ini.
Kompas (20 September 2025),. misalnya, mengutip pernyataan dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jatim. Dinyatakan bahwa buku-buku itu disita dan menjadi barang bukti dari tersangka kasus pengeroyokan dan pengrusakan anggota di pos polisi lalu lintas (pos lantas) Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjadi Agustus lalu. Selain itu disebutkan bahwa 11 buku tersebut adalah “buku kiri” yang mengajarkan paham-paham anarkisme, dan tersangka membaca buku-buku tersebut.
Menilik kasus penyitaan buku tersebut dan alasan penyitaan dari pihak Polda Jatim tampak ada beberapa kesesatan berpikir yang muncul di sini. Kesesatan berpikir atau kekeliruan logika (logical fallacy) sendiri adalah cara berpikir atau argumen yang seolah-olah logis atau meyakinkan, tetapi sebenarnya keliru atau menyesatkan. Kesesatan berpikir membuat orang bisa percaya sesuatu yang tidak benar atau tidak terbukti benar hanya karena alasan yang keliru.
Bagaimana kita tahu bahwa telah terjadi kesepakatan berpikir atau kekeliruan logika dari satu peristiwa. Dari beberapa literatur (Aristoteles; Irving M. Copi & Carl Cohen, 2005; Robert A. Harris, 2017;
Anthony Weston 2018) bisa disimpulkan bahwa paling tidak ada beberapa ciri-ciri dari kesesatan berpikir. Pertama, sesuatu itu terlihat masuk akal, tapi sebenarnya bukan berdasarkan bukti yang kuat, melainkan asumsi yang keliru. Kedua, adanya kebingungan atau ketidakjelasan hubungan sebab akibat. Hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan dinyatakan seolah-olah berkaitan. Ketiga, terlalu cepat mengambil generalisasi atau menyimpulkan sesuatu. Keempat, mengutamakan emosi atau ketakutan dibandingkan logika.
Jika ditelisik lebih lanjut dari kategori-kategori kesesatan berpikir atau kekeliruan logika.(yang biasanya diajarkan di semester awal bangku kuliah dengan menggabungkan pemikiran Aristoteles dan para pemikir logika kontemporer lainnya), ada beberapa potensi kekeliruan logika yang ditemui pada kasus penyitaan buku di atas.
Pertama, adanya Guilt by Association (kekeliruan logika karena asosiasi). Ini bisa dilihat dari cara berpikir bahwa seseorang pasti menjadi anarkis atau radikal hanya karena membaca buku tertentu (misalnya, karya Karl Marx atau Che Guevara). Padahal, membaca sebuah buku tidak ujuk-ujuk menjadikan orang tersebut setuju atau sepakat dengan ide yang ada di buku tersebut.
Kedua, adanya Hasty Generalization (generalisasi atau kesimpulan yang tergesa-gesa), yakni menyimpulkan bahwa buku-buku yang disita adalah pemicu “anarkisme” (tindak kekerasan, pengrusakan, dan sebagainya). Kesimpulan itu diambil dari sampel yang terlalu kecil (dari satu atau beberapa orang tersangka). Padahal, banyak orang yang membaca buku-buku di atas tapi tidak melakukan tindakan “anarkis”.
Ketiga, agak mirip dengan yang di atas, ada yang disebut sebagai Slippery Slope, di aman seseorang atau sekelompok orang menganggap bahwa satu tindakan kecil otomatis akan memicu peristiwa ekstrem. Dalam hal ini ada anggapan bahwa membaca buku pasti menjadikan seseorang memiliki ideologi “radikal”, dan sesudahnya akan melakukan tindakan pengrusakan, pembakaran, dan lain-lain. Padahal tidak bisa langsung hal demikian terjadi atau belum tentu ada hubungan sebab-akibat yang pasti.
Keempat, kekeliruan berpikir Appeal to Fear (menggunakan ketakutan tertentu). Dalam hal ini, seolah-olah ada kaitan antara membaca buku dengan ancaman keamanan atau kekhawatiran publik akan adanya teror, kekerasan, dan lain-lain. Maka, hal tersebut menjadi justifikasi untuk menyita buku-buku tertentu.
Kelima, adanya Confusion of Cause and Effect (kebingungan dalam menghubungkan sebab dan akibat). Sejumlah buku “kiri” dipandang menjadi penyebab tindak kekerasan dan pengrusakan. Padahal, bisa jadi ada faktor-faktor lain yang memengaruhi perilaku tersangka. Jadi, bukan sekadar karena ia membaca buku-buku tertentu.
Jadi, terkait kasus penyitaan buku-buku tersebut, bisa dilihat ada beberapa kekeliruan logika yang terjadi yang berakibat pada kekeliruan kesimpulan (bahwa buku menyebabkan tindakan kekerasan/kriminal, dan sebagainya, dan karenanya harus disita). Ada baiknya kesimpulan tersebut ditinjau ulang oleh aparat untuk meminimalisir kekeliruan logika tadi.
21 September 2025
*Penulis adalah Aktivis Sosial
Discussion about this post