Oleh : MS. As-Syadzili*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Selasa, 15 April 2025. Jakarta masih sibuk menata pagi saat saya tiba di District 89, sebuah gedung yang berdiri anggun di Jalan Warung Buncit No. 89. Dari luar, suasananya modern; kaca bening memantulkan hiruk-pikuk kota, seakan menegaskan denyut kehidupan metropolitan. Di depan kantor itu, ada coffee shop yang menjadi tempat saya menunggu kedatangannya. Di sanalah saya berhadapan dengan sosok yang auranya berbeda: Fajar Zulkarnaen. Senyumnya hangat, matanya menatap dalam, seakan menyimpan perjalanan panjang yang penuh luka, bandel, perjuangan, dan pencarian jati diri. Pertemuan itu terasa seperti membuka lembaran buku hidup seseorang yang pernah jatuh berkali-kali, namun selalu menemukan alasan untuk bangkit.
Kepada saya, Ketua Umum PB HMI Periode 2006-2008 itu menceritakan kisah hidupnya sambil meneguk kopi hitam pekat dari Coffe Shop yang letaknya berada persis di depan kantor tempatnya bekerja.
Fajar Zulkarnaen lahir di Bandung dari keluarga sederhana, jauh dari gemerlap. Ayahnya, Haji Abu Dardak, berasal dari Boyolali, Jawa Tengah, seorang yang sempat menempuh pendidikan agama di Krapyak dan IAIN Yogyakarta meski tak sempat menuntaskannya. Ibunya berasal dari Sumedang. Mereka merantau ke Bandung, mencoba peruntungan di kota itu, dan di sanalah Fajar lahir serta tumbuh.
Masa kecilnya tidak pernah berlimpah. Kehidupan keluarga penuh keterbatasan, rumah sering berpindah-pindah, dan pendidikan berjalan seadanya. Ia tumbuh dalam atmosfer keagamaan yang cukup kental, meski bukan pesantren penuh. “Pesantren saya hanya pesantren kilat,” kenangnya. Dari sanalah ia menyerap nilai-nilai iman yang menancap kuat, walau hidup kelak menempanya dengan cara yang lebih keras.
Di bangku sekolah dasar, Fajar hanyalah anak biasa. Ia tidak pernah menjadi juara kelas, bahkan nilai rapornya sering terseok di antara teman-temannya. Dari SD hingga SMA, ia tidak pernah mencicipi podium penghargaan akademik. Namun di balik itu, ia menyimpan daya tahan: kesadaran bahwa hidup tak selalu ditentukan oleh angka ranking.
Masa SMP dan SMA adalah masa pemberontakan. Tahun 1990-an di Bandung, suasana remaja diwarnai musik, geng, dan tawuran. Fajar pun terseret arus itu. Ia bersekolah di SMP Negeri 8 Bandung, lalu melanjutkan ke SMA Negeri 20 Bandung—salah satu sekolah favorit yang berdiri tak jauh dari Gedung Sate, bahkan kini dikenal sebagai lokasi syuting film Dilan.
Tapi alih-alih aktif dalam organisasi resmi seperti OSIS, Fajar memilih dunia musik dan pertemanan jalanan. Ia berkawan dengan para musisi underground, larut dalam musik metal dan greencore, hingga beberapa kali terlibat tawuran. Namun jejak bandel itu bukan tanpa alasan. Ia mencari identitas, mencari cara untuk mengekspresikan dirinya.
Sejak kecil, orang tuanya selalu menekankan satu hal: apa pun yang dilakukan, sekolah tetaplah kewajiban utama. Maka, meski kehidupannya jauh dari mapan dan nilainya tidak cemerlang, Fajar tetap digembleng untuk masuk sekolah negeri terbaik. Orang tuanya ingin ia terus berjuang di jalur pendidikan, betapapun sulitnya.
Sebelum benar-benar larut dalam dunia aktivisme, Fajar pernah menapaki jalur Pramuka. Di sekolah dasar, ia rajin mengikuti kegiatan kepramukaan, bahkan sempat terlibat dalam tim kecil yang membantu polisi lalu lintas. Namun memasuki SMP, ia meninggalkan semua kegiatan ekstrakurikuler formal. Musik lebih menggoda hatinya, dan dari sanalah ia menemukan “geng”-nya sendiri.
Hidup Fajar Zulkarnaen di masa remaja adalah potret anak muda biasa yang berhadapan dengan kerasnya kota, godaan pergaulan, dan keterbatasan keluarga. Ia bukan bintang yang lahir dengan sinar terang sejak awal. Sebaliknya, ia adalah lilin kecil yang sempat hampir padam, namun pada akhirnya menemukan cara untuk menyala lebih terang, lebih membara, hingga kelak menerangi jalan banyak orang.
Dari Pemberontakan ke Jalan Perubahan
Selepas menyelesaikan masa remajanya di SMA Negeri 20 Bandung, sekolah yang berdiri megah di jantung kota kembang, Fajar Zulkarnaen masih memikul cita-cita besar yang menempel di kepalanya: masuk Institut Teknologi Bandung. Sebuah mimpi yang sering ia ceritakan, meski rankingnya di kelas jauh tertinggal, berada di urutan 39 atau 40 dari 45 siswa. “Saya ini bodoh,” begitu ia dulu mendefinisikan dirinya. Namun justru dari titik rendah itulah lahir tekad yang membara.
Ia digembleng masuk sekolah negeri sejak kecil. Setiap jenjang pendidikan adalah perjuangan, dan puncaknya ketika orang tuanya mendorongnya untuk mengikuti bimbingan belajar. Nama tempatnya masih ia ingat: SSC, berdiri gagah di samping ITB. Di sanalah, malam-malamnya dipenuhi dengan rumus, hitungan, dan mimpi yang terasa terlalu tinggi untuk anak yang sering dicap nakal.
Bahkan, demi UMPTN, pintu seleksi perguruan tinggi kala itu, Fajar rela tinggal di asrama ITB, dekat Vila Merah, selama berbulan-bulan. Ia seakan sedang mempersiapkan dirinya tidak hanya untuk sebuah ujian, tapi juga untuk membuktikan bahwa seorang anak dari keluarga sederhana, yang nilainya nyaris selalu jatuh di dasar kelas, tetap berhak bermimpi besar.
Namun takdir berkata lain. UMPTN gagal membawanya ke ITB. Pintu itu tertutup rapat. Ia pun akhirnya melanjutkan langkah ke Universitas Padjadjaran (UNPAD), sebuah pilihan yang lebih banyak ditentukan oleh orang tuanya. “Sekolah, lulus, kerja”. itulah filosofi sederhana keluarga, tanpa ada peta besar tentang masa depan. Tak ada bayangan tentang profesi, tak ada percakapan tentang menjadi pengacara, insinyur, arsitek, apalagi politisi. Semua mengalir, seadanya.
Meski begitu, masuk UNPAD justru menjadi titik balik hidupnya. Ia tiba di kampus dengan membawa rasa jenuh atas pemberontakan masa remajanya. Musik punk, dunia underground, dan pergaulan keras seakan kehilangan daya tariknya. Jiwa mudanya mencari wadah baru untuk melawan, bukan lagi melalui dentuman gitar atau tawuran, melainkan melalui ruang kampus yang penuh dinamika.
OSPEK kampus adalah pintu pertamanya. Hari pertama ia menginjakkan kaki di UNPAD, ia justru terlibat dalam aksi demo. Ia menolak keras doktrinasi dalam tradisi OSPEK yang menurutnya sarat penindasan. Tahun itu masih era Orde Baru, dan keberanian untuk bersuara lantang adalah pilihan berisiko. Tapi Fajar tidak peduli. Bagi dirinya, keadilan harus diperjuangkan sejak dari ruang-ruang terkecil, bahkan di halaman kampus sendiri.
Keputusan itu menjadi awal dari pergeseran besar dalam hidupnya. Dari seorang remaja yang tumbuh dalam geng musik dan ranking rendah, ia menjelma menjadi mahasiswa yang menemukan energi baru dalam perlawanan intelektual. Sejak saat itu, jalan hidup Fajar Zulkarnaen tak lagi sekadar tentang masuk ITB atau tidak. Ia telah menemukan panggung yang lebih luas: panggung perjuangan sosial, politik, dan kemanusiaan (RED).
*Penulis adalah Kerani Arsip Historia HMI
Discussion about this post