Oleh : MS. As-Syadzili*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Di antara riuhnya Kongres HMI Pondok Gede, wajah-wajah muda yang menjelma menjadi tokoh besar di palagan politik tanah air saat ini, berkumpul dalam satu gelanggang sejarah. Nama-nama seperti Bahlil Lahadalia (Ketua Umum Partai Golkar), M. Sarmuji (Sekjen DPP Partai Golkar saat ini), Shoim Haris, Fauzi Amro (DPR RI Partai Nasdem), dan sederet nama tokoh politisi lainnya menjadi saksi dari babak baru pergerakan mahasiswa kala itu. Di sanalah Fajar Zulkarnaen berdiri, menempuh jalan yang membawanya pada koalisi tak terduga.
Koalisi itu terjalin dengan kandidat Ketua Umum PB HMI bernama Hasanuddin, diperkuat oleh Bahlil dan Syahmud. Persatuan yang lahir dari kebutuhan, dari kalkulasi politik, dan juga dari rasa percaya bahwa perubahan hanya bisa dirajut dengan tangan-tangan yang saling menguatkan. Dari kongres itulah, Fajar Zulkarnaen dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal PB HMI Periode 2004-2006. Hasanuddin menempati posisi kursi Ketua Umum, sementara Bahlil diangkat sebagai Bendahara Umum.
Bagi banyak orang, mungkin sekadar struktur organisasi. Namun baginya, itu adalah titik loncatan, sebuah percepatan. Dari Ketua Badko Jawa Barat langsung melesat menjadi Sekretaris Jenderal di PB HMI, sebuah perjalanan yang tak semua orang bisa tempuh dalam waktu singkat.
Dan di tengah cerita itu, ada satu nama yang menancap kuat dalam ingatannya: Bahlil Lahadalia. Ia masih bisa menyaksikan jelas, bagaimana seorang mahasiswa sederhana dari Papua itu sudah berdiri sebagai pebisnis jauh sebelum gelar sarjana melekat di pundaknya. Tahun 2004, ketika kebanyakan mahasiswa masih berkutat dengan buku dan rapat organisasi, Bahlil sudah menanam benih bisnis IT di tanah kelahirannya.
Di antara para pengurus PB, hanya Bahlil yang sudah “mapan” kala itu. Setiap kali organisasi butuh dana, dialah yang pertama mengulurkan tangan. Raker di Puncak, kegiatan-kegiatan awal, bahkan ongkos gerakan mahasiswa, banyak yang ditalangi dari kantongnya. Karena itulah ia dipilih menjadi Bendahara Umum PB HMI. Bahlil bukan hanya bendahara, ia juga penopang nafas organisasi.
“Kalau hari ini orang mengenal Bahlil sebagai pengusaha besar dan pejabat penting negeri, aku adalah saksi hidup bahwa jalan itu ia rintis sejak lama,” begitu ia sering mengulang kisah itu dengan nada penuh kesaksian. Bahlil, dengan kelincahan lobi dan kelihaian bisnis, memang sudah ditempa sejak usia muda.
Di mata dirinya yang berasal dari daerah, datang ke Jakarta tanpa banyak pengalaman politik, Bahlil tampak seperti sosok yang selangkah lebih dewasa. Ia bukan hanya membawa uang, tetapi juga membawa naluri tajam untuk membaca situasi, membangun koalisi, dan menggerakkan barisan.
Namun, sejarah organisasi tak selalu mulus. Dualisme kembali terjadi. Setelah masa Kholis Malik, retakan itu muncul lagi di era Hasanuddin. Ia yang kala itu menjabat Sekjen harus merasakan getirnya terjebak di antara dua ketua umum. Posisi itu memberinya luka sekaligus pelajaran: bahwa idealisme dan kenyataan politik seringkali berjalan di jalur yang berbeda.
Ia memilih bertahan sebagai Sekjen, menolak mengambil alih jabatan ketua umum meski pintu itu terbuka. “Aku tetap Sekjen saja,” katanya dalam diam, seolah meneguhkan sikap. Bukan karena ia tak mampu, melainkan karena ia tak ingin larut dalam ambisi yang justru memecah belah.
“Kenapa harus begini terus?” keluhnya dalam hati kala itu. Tapi dari kekecewaan itu, tumbuh tekad: perpecahan harus berakhir, organisasi harus kembali bersatu. Baginya, perjuangan bukan tentang siapa yang duduk di kursi puncak, melainkan tentang menjaga rumah bersama agar tak runtuh dihantam ambisi.
Di balik hiruk-pikuk dualisme, di balik nama-nama besar yang kelak menghiasi panggung politik nasional saat ini, ia tetap menorehkan jejak: saksi hidup tumbuhnya seorang Bahlil, pejuang yang memilih bertahan sebagai Sekjen di tengah badai amuk dualisme PB HMI, dan pemimpin yang percaya bahwa kesetiaan pada organisasi lebih penting daripada haus akan jabatan (RED).
*Penulis adalah Kerani Arsip Historia HMI































Discussion about this post