NEPAL, RADIANTVOICE.ID – Gonjang-ganjing politik terbaru di Nepal kembali menyeret nama Amerika Serikat (AS) dalam pusaran kecurigaan. Banyak pihak menilai dinamika pembubaran pemerintahan terpilih tak bisa dilepaskan dari jejak panjang keterlibatan Washington di negara Himalaya itu, yang sejak lama dipandang sebagai wilayah strategis dalam persaingan geopolitik.
Jejak tersebut bukan sebatas rumor. Arsip-arsip yang kini dideklasifikasi menunjukkan bahwa pada awal 1970-an, CIA menggunakan wilayah Nepal untuk melatih pasukan gerilya Tibet di Mustang Valley guna melawan Tiongkok. Ratusan pejuang bersenjata dan tim radio rahasia beroperasi dari perbatasan utara Nepal, hingga akhirnya ditinggalkan ketika Washington mengubah haluan untuk merangkul Beijing.
Keterlibatan AS juga tampak pasca serangan 11 September 2001, ketika gerilyawan Maois di Nepal dicap “teroris” oleh Washington. Ribuan senjata M-16 dikirim ke Kathmandu, kerja sama militer diperkuat, dan perwira Nepal mendapat pendidikan di sekolah-sekolah militer AS. Bahkan, kunjungan tokoh seperti Menlu Colin Powell dan penunjukan James F. Moriarty sebagai duta besar dianggap sinyal kuat bahwa kebijakan Nepal ditangani langsung oleh Gedung Putih.
Kini, dengan kembali runtuhnya pemerintahan, banyak pihak menilai pola lama itu berulang. “Gerakan sebesar ini sulit berdiri tanpa pengarah asing,” kata seorang wartawan veteran di Kathmandu. Beberapa pejabat Nepal juga tak menampik adanya kemungkinan dukungan luar negeri, meski bukti konkret belum diungkapkan.
Pengamat internasional menilai, sorotan publik terhadap sejarah operasi CIA di Nepal menegaskan betapa rapuhnya demokrasi di negara tersebut. Selama Nepal tetap menjadi ajang perebutan pengaruh antara Washington, Beijing, dan New Delhi, stabilitas politiknya akan terus diuji (RED).
Discussion about this post