Oleh : Ahmadie Thaha*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Presiden Prabowo Subianto sudah memanggil Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ke Istana untuk membahas stimulus ekonomi. Jelas ini terkait gebrakannya sebelumnya yaitu keputusan menggelontorkan dana Rp 200 triliun ke perbankan umum. Bersama itu, dengan gaya koboi, ia tampil di sejumlah forum offline dan online untuk menjelaskan platform kebijakan ekonominya.
Itu membuat jejak digitalnya makin panjang. Sebelum masuk kabinet, ia sudah fasih bicara tentang mengapa Prabowo menunjuknya. Jejak itu bernama Sumitronomics. Purbaya sejak lama bukan sekadar ekonom birokratis. Kedudukannya di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tak membatasinya menjadi “penginjil” Trilogi Pembangunan ala Profesor Sumitro Djojohadikusumo.
Dari seminar ke seminar, termasuk di panggung LPS Financial Festival 2025 yang berlangsung sampai dua hari di Medan, ia menjual satu paket retorika soal pertumbuhan tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, dan stabilitas nasional. Tiga mantra itu dibungkus dengan label keren, Sumitronomics.
Di panggung Medan itu, dengan gaya santai yang kadang meledak seperti stand-up comedy, Purbaya berkata: “Kita lebih pintar sedikit dari IMF.” Ucapan ini tentu saja memancing tawa dan tepuk tangan ratusan hadirin, sebagian besar mahasiswa berseragam biru. Ungkapan sama diulanginya di forum-forum lain.
Namun di balik humor itu ada strategi branding, ia sedang menampilkan diri beda dari Menkeu sebelumnya, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai murid bandel yang tak mau lagi dikuliahi oleh Washington Consensus. Pesannya jelas, “Kemandirian ekonomi, modal domestik, dan industrialisasi adalah kunci.”
Dan itu selaras dengan ambisi Prabowo yang sejak awal kampanye terobsesi pada “berdikari”, semangat berdiri di atas kaki sendiri. Obsesi ini ia percayakan pada Purbaya, seorang teknisi yang melompat jadi ekonom, yang paham betul bagaimana mengatasi paradoks-paradoks yang sudah jadi kanker di Indonesia.
Tetapi jangan buru-buru tepuk tangan. Purbaya sendiri lihai memainkan paradoks. Ia bisa menyebut ekonomi Indonesia tangguh karena ditopang permintaan domestik 90 persen, sambil meremehkan prediksi ekonom global yang katanya “selalu salah.”
Namun, dalam satu tarikan napas, ia juga menjadi Keynesian yang mengandalkan animal spirits sekaligus monetaris yang menghitung M0 ala Sumitro. Netizen dengan nada sinis menyebutnya “jurus bacot lebar,” tetapi bagi Prabowo justru inilah aset: menteri keuangan yang bisa jadi penghibur sekaligus penyangga fiskal.
Untuk memahami konteks, kita perlu mundur ke masa Orde Baru. Trilogi Pembangunan yang diwariskan Sumitro bukan sekadar jargon. Ia menjadi kitab suci ekonomi rezim Soeharto yaitu pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas.
Pertumbuhan dijaga lewat industrialisasi ringan dan eksploitasi sumber daya alam. Pemerataan diwujudkan melalui kredit murah, subsidi pupuk, dan Inpres Desa. Stabilitas ditegakkan lewat pengendalian inflasi, tapi juga represi politik.
Sekilas, hasilnya mengagumkan. Indonesia keluar dari jebakan agraris miskin dan masuk jajaran “macan Asia” kelas menengah. Pertumbuhan rata-rata tujuh persen di era 1970–1990-an membuat kota-kota baru tumbuh, sawah berisi traktor, televisi berwarna masuk kampung.
Pak Harto dengan senyum khasnya bangga betul. Inilah masa ketika jargon trickle down effect digembar-gemborkan bahwa cukup bikin ekonomi tumbuh, manfaatnya akan merembes ke bawah. Sebuah keyakinan yang ternyata rapuh.
Sejarah mencatat, Trilogi Pembangunan menyimpan cacat bawaan. Pertumbuhan tinggi, tetapi rapuh karena ketergantungan pada utang luar negeri dan rente konglomerat. Bung Hatta yang menekankan koperasi terpinggirkan.
Pemerataan justru melahirkan kesenjangan: elit menikmati rente, petani dan buruh tetap gigit jari. Stabilitas ternyata semu, ditegakkan dengan pembatasan politik. Begitu krisis moneter 1997 datang, semua retak: pertumbuhan ambruk, pemerataan hilang, stabilitas berubah jadi kerusuhan.
Kini, lewat Purbaya, warisan itu bangkit lagi dengan label baru yakni Sumitronomics. Bedanya, kali ini dijual dalam suasana demokrasi terbuka, dengan modal domestik yang lebih besar, serta pasar kelas menengah yang sudah terbentuk.
Bukti kebangkitan terlihat dari cara Purbaya menampilkan data-data rinci yang membandingkan era SBY dan Jokowi. Meski SBY mencatat pertumbuhan lebih tinggi, katanya, kepercayaan publik justru lebih rendah dibanding Jokowi.
Orang bertanya, kenapa? Ia jawab, karena Jokowi rajin bagi-bagi program langsung ke rakyat. Inilah tafsir baru Trilogi: pemerataan tak cukup dengan teori trickle down, harus ada transfer fiskal langsung.
Analisis ini dalam kerangka akademis tidak salah. Literatur politik-ekonomi membuktikan legitimasi fiskal lebih kokoh bila rakyat merasakan manfaat konkret. Namun gaya Purbaya membuat teori serius terdengar enteng.
Meyakinkan mahasiswa, tanpa sungkan, ia bilang, “Kalau saya ngomong pasti benar, dengerin aja. Ha ha ha.” Di titik ini ia menjelma jadi hibrida: ekonom, politisi, dan pelawak panggung. Cocok untuk kabinet Prabowo yang doyan retorika heroik bercampur guyonan warung kopi.
Bagi Prabowo, pilihan pada Purbaya tak lepas dari garis darah. Ayahnya, Sumitro, bermimpi membangun industrialisasi dengan modal domestik, bukan hutang. Sebuah mimpi yang tak pernah jadi kenyataan. Kini, Prabowo ingin mewarisi mimpi itu lewat seorang menteri yang bisa menjualnya sebagai paket politik baru: kemandirian ekonomi ala Sumitronomics.
Apakah strategi ini ilmiah? Ya dan tidak.
Ya, karena data tentang konsumsi domestik 62 persen PDB plus investasi 27 persen memang benar adanya. Itu pondasi yang membuat Indonesia relatif tahan guncangan eksternal.
Tidak, karena optimisme berlebihan bisa menutupi masalah struktural: produktivitas rendah, ketergantungan impor pangan, dan beban utang BUMN yang berat.
Maka publik berhak sinis: jangan-jangan Sumitronomics hanyalah nama keren untuk politik bagi-bagi. Tetapi Prabowo tahu: Purbaya bukan sekadar penghafal teori. Ia piawai menenangkan pasar saat pandemi, dan mampu menghibur audiens dengan menyebut Sumitro sebagai “ekonom pintar yang kesepian di zaman bambu runcing.”
Mungkin inilah alasan yang tak pernah diucapkan Prabowo dengan gamblang bahwa memilih Purbaya bukan sekadar soal teknokrasi, melainkan juga soal komunikasi. Bahwa Sumitronomics bukan sekadar warisan Sumitro, melainkan bahasa politik yang merakyat.
Pertanyaannya kini adalah, apakah Purbaya akan menulis bab baru dari Trilogi Pembangunan yang lebih adil, dengan koreksi atas berbagai kesalahan Pak Harto, jadi Neo Sumitronomics. Atau, justru ia akan mengulang cacat lama, pertumbuhan tanpa pemerataan, stabilitas semu yang rapuh?
Jawaban itu masih menunggu. Untuk sementara, rakyat cukup mengamati sambil senyum miris: ekonomi memang bukan hanya angka, tetapi juga panggung retorika. Dan, seperti biasa, diskusi panjang diakhiri komentar sederhana “lihat saja nanti!”
*Penulis adalah Wartawan Senior
Discussion about this post