Oleh: Salihudin M. Awal
SULAWESI, RADIANTVOICE..ID – Di antara hiruk-pikuk dunia aktivis, selalu ada nama yg melintas karena sepak terjang politiknya. Banyak alumni HMI yang memilih jalan itu: masuk partai, meraih jabatan, atau menapaki karier di eksekutif dan legislatif. Itu sah, bahkan lumrah.
Namun, kisah Muhlis Ali justru berbeda. Ia memilih jalan yg lebih sepi, tapi sesungguhnya sangat terang: jalan perkaderan.
Saya mengenalnya sejak masa aktivis, ketika saya di HMI Cabang Palu dan ia di Jakarta tahun 1999. Aktivis HMI Jakarta memang khas. Mereka dikenal lihai membangun jejaring, piawai menjalin pertemanan yang kemudian menjadi modal politik. Tidak sedikit yang kemudian sukses di panggung kekuasaan.
Tapi Muhlis Ali tidak tergoda arah itu. Ia punya tafsir lain tentang arti sebuah jaringan.
Bagi Muhlis, luasnya pertemanan bukan untuk mengokohkan langkah pribadi menuju jabatan, melainkan untuk memperkuat perkaderan—inti dari HMI yang sejak dulu diyakininya sebagai organisasi kader.
Dalam pandangan Muhlis, perkaderan adalah jantung. Ia menyebutnya sebagai mata air yang tak pernah kering, selama ada yang menjaganya.
Pandangan ini sejalan dengan gagasan Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menekankan bahwa HMI adalah organisasi kader dan tidak boleh kehilangan ruh perkaderannya, karena di sanalah letak kekuatan umat dan bangsa. Muhlis Ali seakan menghidupi spirit itu dalam keseharian dan tindakannya.
Ketika kawan-kawannya mulai dikenal sebagai kepala daerah, anggota DPR, atau pejabat tinggi, Muhlis Ali justru mengambil pilihan yang mengejutkan: pulang kampung ke Malang. Ia tidak kembali dengan tangan kosong, tetapi membawa mimpi besar. Ia mulai membangun gedung untuk basis perkaderan. Tidak ada investor, tidak ada anggaran negara. Modal awalnya ia sisihkan dari keringat dan usahanya sendiri.
Gedung itu akhirnya berdiri. Tidak megah, tapi hidup. Dari sana, adik-adik HMI hingga komunitas non-HMI merasakan manfaatnya. Mereka berkegiatan, berdiskusi, berproses, menemukan ruang aman untuk belajar dan bertumbuh.
Muhlis tidak berhenti di situ. Ia tahu bahwa tantangan zaman terus berubah. Gedung yang sudah berdiri tidak lagi cukup menampung derasnya aktivitas. Maka, ia memperluas. Dibangunnya gedung baru yang lebih besar, dengan fasilitas lebih baik. Di dalamnya kelak akan ada perpustakaan, ruang diskusi yang lebih nyaman, serta sarana lain yang mendukung pembentukan kader berkualitas.
Menggunakan sebagian besar harta pribadi untuk membangun gedung perkaderan tentu bukan perkara kecil. Tapi Muhlis Ali punya niat besar: menjadikan harta sebagai sarana ibadah. Ia menyebutnya sebagai sedekah harian untuk umat. Sebuah konsep sederhana, tapi bernilai tinggi.
Dalam perjalanannya, Muhlis tidak sendirian. Jaringannya yang luas—dari eksekutif, legislatif, hingga kalangan pengusaha—turut memberi dukungan. Di tangan orang lain, jaringan sebesar itu bisa saja dipakai untuk menjadikan kuasa pribadi. Tapi di tangan Muhlis, jaringan itu dipakai untuk memperkuat basis kaderisasi.
Komitmennya jelas: perkaderan adalah fondasi utama umat dan bangsa. Tanpa perkaderan, organisasi akan kering, rapuh, dan kehilangan arah. Dengan perkaderan, ada mata air yang terus mengalir, memberi kehidupan baru dari generasi ke generasi.
Semangat ini sejalan dengan pesan-pesan para tokoh HMI terdahulu, seperti Akbar Tandjung yang menekankan pentingnya menjaga roh perkaderan sebagai legitimasi sejarah HMI. Begitu pula dengan pandangan Lafran Pane, pendiri HMI, yang menegaskan bahwa organisasi ini sejak awal tidak dimaksudkan untuk mengejar kekuasaan semata, melainkan untuk membentuk kader umat dan bangsa.
Muhlis Ali tidak banyak bicara di ruang publik. Ia lebih suka bekerja diam-diam, menanam, lalu memetik hasilnya dalam bentuk senyuman sebagai rasa bangga melihat kader-kader muda bersuara lantang di forum-forum ilmiah, menyusun strategi dakwah, atau melahirkan ide segar untuk bangsa.
Ia tahu, tidak semua orang paham dengan jalan yang ia tempuh. Sebagian mungkin bertanya: kenapa tidak ikut berebut panggung politik? Kenapa tidak menyalurkan ambisi ke kursi kekuasaan? Jawabannya sederhana: karena ada yang lebih penting daripada sekadar jabatan—yakni memastikan perkaderan tetap hidup.
Gedung baru yang kini tengah diselesaikan bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah simbol. Simbol keberanian untuk memilih jalan berbeda. Simbol pengorbanan seorang alumni yg mengerti betul bahwa masa depan organisasi tidak ditentukan oleh satu-dua pemimpin besar, melainkan oleh aliran kader yang tak pernah berhenti lahir.
Di tengah arus pragmatisme politik, Muhlis Ali mengingatkan kita: perkaderan adalah rumah. Dan rumah itu harus dijaga, diperluas, serta diperkokoh.
Menjelang Dies Natalis KAHMI 17 September 2025 ini kita merayakan persaudaraan alumni, nama Muhlis Ali patut disebut. Bukan untuk diagungkan, tapi untuk dijadikan inspirasi.
Bahwa ada jalan sunyi yang bisa ditempuh dgn bahagia: jalan perkaderan. Dan selama jalan itu ada, HMI akan selalu punya mata air yang tak pernah kering.
*Penulis adalah Aktivis Jari Sulawesi Tengah
Discussion about this post