JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Gelombang penjarahan yang menyasar rumah sejumlah politikus dan pejabat negara menggegerkan publik. Dalam waktu kurang dari 24 jam, kediaman Uya Kuya, Ahmad Sahroni, Eko Patrio, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani diserbu massa yang sebagian besar berusia remaja. Pola kejadian yang berurutan dan minimnya pengamanan memunculkan dugaan adanya koordinasi yang rapi di balik aksi brutal tersebut.
Rumah Uya Kuya di Jalan Statistik, Duren Sawit, Jakarta Timur, porak-poranda setelah digeruduk massa, Sabtu (30/8) malam. Kaca jendela pecah, tembok dipenuhi coretan, pagar jebol ditutup seng, dan barang-barang berharga raib dijarah. “Sekitar pukul 9 malam massa mulai menyerang,” kata Bagus, saksi mata, yang menyebut ratusan orang datang sambil berteriak.
Sebelumnya, rumah anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Ahmad Sahroni, di Jakarta Utara sudah lebih dulu jadi korban. Ketua RT setempat menegaskan, massa bukan warga sekitar, melainkan orang tak dikenal yang mendominasi lokasi selepas Magrib.
Tak berhenti di situ, massa bergerak ke kediaman Eko Patrio di Jakarta Selatan. Polanya mirip: kerumunan awal berkumpul, jumlah bertambah hingga ratusan, lalu sekelompok orang memprovokasi sebelum massa merangsek masuk. Barang-barang rumah tangga ludes digondol, bahkan dengan kendaraan roda empat.
Gelombang terakhir menimpa rumah Sri Mulyani di Bintaro pada Minggu (31/8) dini hari. Seorang saksi menyebut bunyi kembang api menjadi aba-aba bagi ratusan massa untuk masuk kompleks. “Setelah kembang api meletus, mereka langsung menyerbu,” ujarnya.
Keanehan lain muncul pada aspek pengamanan. Di hampir semua lokasi, aparat disebut ada, tetapi dalam jumlah terbatas, sebagian besar berpakaian sipil, dan tidak mencegah massa masuk. Di rumah Eko Patrio, aparat kepolisian dan TNI sempat hadir sebelum penyerbuan, namun hanya berjumlah belasan dan tidak melakukan tindakan signifikan saat rumah dijarah.
Dugaan Terkoordinasi
Rangkaian peristiwa itu menunjukkan pola berulang: massa berkumpul selepas Magrib, bukan warga sekitar, serangan berurutan dari satu rumah ke rumah lain, dan barang-barang dijarah lalu dibawa kendaraan. Para saksi menyebut seolah ada “tangan tak terlihat” yang mengarahkan jalannya penjarahan.
Peneliti sosial menilai pola ini mengingatkan pada praktik riot specialists, pihak-pihak yang memang ahli mengatur kerusuhan untuk tujuan tertentu. Publik pun bertanya-tanya: mengapa rumah politikus dan pejabat menjadi target, bukan rumah warga biasa?
Di tengah situasi sosial-ekonomi yang memanas, aksi penjarahan ini dipandang sebagai ekspresi kemarahan terarah kepada elite politik. Beberapa warga menilai, pejabat dinilai tidak cukup empatik dengan kondisi rakyat. Namun, ketiadaan pengamanan yang memadai juga memunculkan kecurigaan adanya pembiaran atau skenario yang lebih besar.
Kepolisian sejauh ini telah menetapkan 10 tersangka terkait penjarahan rumah Uya Kuya. Namun, publik menunggu jawaban lebih luas: apakah gelombang penjarahan ini benar spontan, atau ada aktor yang sengaja memainkan skenario? (RED).
Discussion about this post