Oleh : MS. As-Syadzili*
JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Pasca terjadinya Demo Agustus yang berakhir rusuh, institusi kepolisian mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak atas upaya represif yang dilakukan. Ada sekitar 10 korban jiwa melayang sia-sia akibat demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah itu. Akibatnya, suara-suara untuk mencopot Jenderal Listyo Sigit mulai bermunculan. Rata-rata aspirasi yang menuntut pencopotan Jenderal Listyo Sigit itu dikarenakan hilangnya wajah humanis dalam tubuh Polri.
Lalu siapa nantinya sosok pengganti yang layak untuk menempati posisi Trunojoyo I dengan melihat tantangan yang akan dihadapi oleh institusi kepolisian di masa-masa yang akan datang? Ada beberapa nama memang yang muncul ke permukaan. Namun, sosok satu ini kiranya perlu untuk didorong namanya melihat hilangnya wajah humanisme di dalam tubuh Polri.
Sebagaimana umumnya, bahwa di balik setiap perwira tinggi kepolisian, sering tersembunyi kisah panjang tentang disiplin, dedikasi, dan pengabdian. Nama Irjen Pol Rudi Darmoko, yang belakangan mencuat dalam wacana publik sebagai figur yang layak untuk menakhodai Kepolisian Republik Indonesia, merupakan satu di antara sosok yang lahir dari tradisi militer, mengabdi dalam disiplin kepolisian, dan tumbuh dengan rendah hati di tengah hiruk pikuk prestasi yang menyertainya.
Rudi lahir di Jakarta, pada 7 Desember 1971. Darah keprajuritannya mengalir dari sang ayah, Letkol Inf (Purn) Jumadi, seorang perwira TNI yang pernah menjadi pelatih Presiden Prabowo Subianto saat masih berdinas di Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dari lingkungan rumah itulah, nilai disiplin, keberanian, serta keikhlasan mengabdi pada negara ditanamkan sejak dini.
Rudi kemudian memilih untuk menapaki jalur pengabdiannya dengan masuk ke Akademi Kepolisian (Akpol). Pada 1993, ia menamatkan pendidikan sebagai lulusan terbaik dan menyandang predikat Adhi Makayasa, penghargaan tertinggi yang hanya diberikan pada perwira dengan prestasi akademik, jasmani, dan kepribadian paling unggul. Sebuah awal yang menegaskan, jalan panjang yang hendak ditempuhnya bukan sekadar langkah, melainkan sebuah panggilan.
Pendidikan kepolisian baginya bukan sekadar syarat struktural, melainkan medan pengasahan diri. Dari PTIK yang diselesaikannya pada 2002, Sespim Lemdiklat Polri (2008), hingga Sespimti (2016), Rudi senantiasa menunjukkan ketekunan seorang pembelajar. Ilmu bagi dirinya adalah bekal kepemimpinan, bukan hanya deretan gelar yang dipajang di dinding.
Karier yang Bertumbuh dari Akar
Langkah awalnya di kepolisian dimulai dari jabatan Kasubbag Jabpamenti di SSDM Polri. Dari sana, ia perlahan menapaki tangga kepemimpinan: Kapolres Cilacap (2010), Kabagbinkar Polda Metro Jaya (2012), hingga dosen utama di STIK Lemdiklat Polri (2014). Peran sebagai pendidik mencerminkan sisi akademis yang tak pernah padam dalam dirinya.
Seiring waktu, kariernya kian matang: Kepala Biro SDM di berbagai wilayah, Wakapolda Sulawesi Utara (2020), hingga dipercaya menjadi Widyaiswara Utama Sespim Lemdiklat Polri (2021). Pada 2024, ia ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan (Kasespim) Lemdiklat Polri, sebuah posisi strategis yang mengasuh calon-calon pemimpin kepolisian. Puncaknya, 2025, ia dipercaya mengemban amanah sebagai Kapolda Nusa Tenggara Timur, mengawal sebuah daerah dengan kompleksitas sosial dan geografis yang menuntut kepemimpinan adaptif.
Rekam jejaknya tidak berhenti pada jabatan. Ia dihiasi oleh deretan penghargaan yang menjadi penanda pengabdian: Adhi Makayasa (1993), Bintang Bhayangkara Pratama (2023), hingga Medal of Merit dari Pemerintah Timor Leste (2025).
Bintang Bhayangkara Pratama, yang disematkan langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, adalah bentuk apresiasi atas loyalitas dan dedikasi yang tak terputus kepada institusi. Sementara Medal of Merit dari negara tetangga adalah bukti pengakuan lintas batas atas kontribusinya dalam memperkuat kerja sama keamanan.
Gaya Kepemimpinan: Antara Disiplin dan Keakraban
Namun, ada satu hal yang jarang disorot di balik gemerlap medali yang diraihnya, Rudi dikenal sederhana. Ia bukan sosok yang membangun jarak dengan bawahan, melainkan menjadikan komunikasi personal sebagai fondasi kepemimpinan. Rekan sejawat menyebutnya sebagai perwira yang mudah bergaul, senang mendengar, dan mampu merangkul. Sifat ini menjadikannya dihormati, bukan karena pangkat semata, melainkan karena keteladanan.
Gaya kepemimpinannya adalah percampuran antara disiplin militer yang diwarisi dari sang ayah dan humanisme yang lahir dari interaksi panjang dengan masyarakat. Baginya, polisi bukan sekadar aparat penegak hukum, melainkan pengemban amanah sosial yang harus hadir dan dekat dengan rakyat.
Kini, ketika namanya digadang-gadang sebagai salah satu kandidat Kapolri, publik kembali menyorot perjalanan panjang itu. Apakah pengalaman mendidik, memimpin, dan mengelola birokrasi akan menjadi bekal memadai untuk menakhodai institusi sebesar Polri?
Pertanyaan itu wajar, sebab Kapolri bukan sekadar jabatan struktural, melainkan simbol moral bagi seluruh jajaran Bhayangkara. Rudi, dengan latar belakang keluarga militer, rekam prestasi akademis, serta gaya kepemimpinan yang komunikatif, menghadirkan sebuah kombinasi yang tidak banyak dimiliki.
Sejarah kerap menyimpan ironi: anak seorang pelatih Kopassus kini berpotensi menjadi pengawal keamanan bangsa di jalur kepolisian. Dalam diri Rudi Darmoko, ada pertemuan antara warisan keluarga, pendidikan ketat, dan pengalaman lapangan yang menempanya menjadi perwira matang.
Apakah kelak ia benar-benar menapaki puncak kursi Kapolri, waktu yang akan menjawab. Namun satu hal yang pasti: perjalanan hidupnya adalah bukti bahwa pengabdian tidak lahir tiba-tiba, melainkan ditempa oleh waktu, disiplin, dan kerendahan hati (RED).
*Penulis dan Direktur Lembaga Kajian Agama dan Politik (eLKAP)
Discussion about this post