Oleh : Imam Mawardi Ridlwan*
Penulis tidak berada di tengah kerumunan itu. Hanya di pesantren, bersama para santri, tenggelam dalam rutinitas ngaji harian. Namun, dari layar kecil ponsel, penulis menyaksikan semuanya, video-video yang berseliweran di grup WhatsApp. Asap mengepul seolah sampai ke ruang ngaji kami. Gedung gubernur terbakar. Kantor DPRD porak-poranda. Pos polisi tinggal rangka. Halte berubah menjadi abu.
Itulah yang terjadi antara 25 hingga 31 Agustus 2025. Di jalanan, ribuan orang meneriakkan kata “demokrasi”. Namun, demokrasi macam apa yang diwujudkan dengan membakar fasilitas umum? Demokrasi yang seperti apa yang melegitimasi perusakan kantor wakil rakyat?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema di kepala. Apakah kemarahan massa benar-benar lahir dari rasa keadilan yang terluka? Ataukah sebagian hanya ikut-ikutan sorak sorai, hanyut dalam arus kerumunan? Lebih jauh, tidakkah mungkin ada tangan-tangan lain yang bekerja dalam senyap, mengatur ritme amarah, lalu meninggalkan jejak berupa api dan kehancuran?
Tentu penulis tidak ingin terburu-buru menyalahkan siapa pun. Tetapi, merasa perlu mengajukan pertanyaan mendasar yakni apakah kita masih memiliki etika dalam berdemokrasi? Apakah kita masih percaya pada kekuatan dialog? Apakah musyawarah masih kita junjung? Ataukah semuanya telah tergantikan oleh satu kata, pemaksaan?
Kita melihat pola yang sama bahwa rezim harus tunduk, wakil rakyat harus tumbang, semua pihak harus patuh pada tuntutan demonstran, atas nama rakyat, atas nama kemarahan, yang kerap dikemas rapi dalam narasi revolusi. Seakan-akan, satu-satunya cara menyuarakan aspirasi adalah dengan kekerasan.
Penulis tentu menyadari, banyak yang kecewa pada DPR dan DPRD. Kritik terhadap mereka sudah lama mengemuka bahwa mereka dianggap hanya mengobral janji, larut dalam praktik korupsi, atau sibuk melayani kepentingan elit politik. Tetapi pertanyaannya sekarang, apakah jawaban dari kekecewaan itu adalah menjarah rumah mereka? Membakar kantor mereka? Menghancurkan fasilitas publik yang sejatinya dibangun dengan uang rakyat itu sendiri?
Sebagai orang pesantren, penulis terbiasa menimbang persoalan dari lensa ilmu yang diajarkan para ulama. Dalam madzhab Imam Syafi‘i, yang penulis pelajari sejak muda, maupun dalam tasawuf Imam al-Ghazali, yang mengajarkan kehalusan budi, ada pesan yang terus berulang bahwa jika ada penguasa yang salah, luruskanlah dengan lisan. Sampaikan dengan hikmah. Ajak bermusyawarah. Perlawanan itu sah, tetapi ia tidak boleh dibangun di atas batu dan api.
Sejauh pemahaman penulis, belum pernah menemukan dalil yang membolehkan kekerasan atas nama amar ma‘ruf nahi munkar. Yang ada justru dorongan untuk menegakkan kebenaran dengan hikmah, dengan kelembutan, dan dengan ketegasan yang tidak menyakiti. Kekerasan mungkin memberi ledakan sesaat, tetapi ia selalu meninggalkan bara yang merusak lebih banyak hal daripada yang ia perbaiki.
Tentu kita tidak menutup mata bahwa banyak aktivis turun ke jalan dengan niat tulus. Mereka ingin perubahan, mereka ingin keadilan. Namun, niat baik itu bisa dengan mudah terseret oleh arus amarah. Bara api bisa mengambil alih semangat mulia, lalu mengubahnya menjadi amukan yang tak terkendali. Nafsu angkara murka bisa menyamar sebagai idealisme, padahal sejatinya hanya menambah luka sosial.
Sebab itulah, penulis meyakini bahwa demokrasi bukan soal siapa yang paling keras berteriak, melainkan siapa yang paling sabar mendengar. Demokrasi bukan tentang siapa yang paling cepat membakar, melainkan siapa yang paling tekun membangun. Demokrasi yang sehat menuntut kesabaran, dialog, dan ketekunan, nilai-nilai yang sesungguhnya tidak asing dalam tradisi bangsa ini, karena berakar kuat pada budaya musyawarah dan gotong royong.
Peristiwa akhir Agustus seharusnya menjadi cermin bagi kita semua. Cermin untuk mengakui bahwa demokrasi kita masih rapuh, mudah diguncang oleh kekecewaan yang menumpuk. Tetapi sekaligus juga cermin untuk bertanya, apakah kita ingin menguatkannya dengan api amarah, atau dengan akhlak mulia?
Tulisan ini bukanlah penghakiman. Ia lebih merupakan pengingat, pertama-tama bagi diri penulis sendiri. Bahwa menjaga negeri ini adalah tanggung jawab bersama. Tanggung jawab itu tidak bisa ditunaikan dengan amarah, melainkan dengan kebijaksanaan. Ia tidak akan lahir dari bara api yang membakar, melainkan dari api kecil yang menerangi jalan, yaitu akhlak.
Dan akhlak, sebagaimana selalu diajarkan para guru kami, tidak pernah lahir dari api yang menghanguskan. Ia lahir dari kesabaran, kelembutan, dan keteguhan hati dalam menempuh jalan yang benar.
*Penulis adalah Anggota Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam
Discussion about this post