LIMA, RADIANTVOICE.ID – Senin sore, 1 September 2025, suasana di Avenida César Vallejo, distrik Lince, Lima, Peru, mendadak berubah menjadi mencekam. Jalan yang biasanya ramai oleh pejalan kaki, kendaraan, dan pesepeda, sontak dipenuhi teriakan dan kepanikan. Seorang pria asal Indonesia, Zetro Leonardo Purba (40), ditembak mati oleh tiga pria asing tak dikenal.
Purba, seorang pejabat di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Lima, baru lima bulan bertugas di negara tersebut. Saat itu ia sedang mengendarai sepeda menuju apartemen tempat tinggalnya. Di depan pintu gedung, sang istri sudah menunggu. Namun seketika suara letusan senjata api memecah udara. Tembakan beruntun dilepaskan, menghujani tubuh sang diplomat. Istrinya yang hanya berjarak beberapa meter tak kuasa berbuat apa-apa, selain menjerit meminta pertolongan.
Purba sempat dilarikan ke klinik terdekat, tetapi luka parah membuat nyawanya tidak tertolong. Kepolisian Nasional Peru (PNP) segera mengidentifikasi peristiwa itu sebagai kemungkinan besar aksi sicario—istilah untuk pembunuhan bergaya bayaran yang sudah lama menghantui kawasan Amerika Latin.
“Ini adalah kasus pertama sicariato tahun ini di Lince. Motifnya belum diketahui, namun indikasi mengarah pada aksi balas dendam atau pesan tertentu. Unit pembunuhan dan DEPINCRI Jesús María tengah melakukan penyelidikan,” ujar Mayor Daniel Guivar dari PNP.
Apa Itu Sicario?
Istilah sicario berasal dari kata Latin sicarius, yang berarti “pembawa belati” atau “pembunuh bayaran.” Dalam konteks Amerika Latin modern, sicario merujuk pada eksekutor yang disewa oleh kartel narkoba, kelompok kriminal, atau bahkan individu berpengaruh untuk menyingkirkan lawan.
Fenomena ini menguat sejak dekade 1980-an, khususnya di Kolombia dan Meksiko, di mana kartel narkotika memelihara jaringan pembunuh bayaran sebagai bagian dari strategi teror. Modusnya serupa: pelaku berjumlah dua hingga empat orang, biasanya naik sepeda motor atau mobil, menyerang korban di ruang publik, lalu menghilang tanpa jejak.
Peru, meski tidak seterkenal Meksiko atau Kolombia, mengalami peningkatan tajam kasus sicario dalam satu dekade terakhir. Data Observatorio de Criminalidad del Ministerio Público Peru mencatat lebih dari 2.000 kasus pembunuhan bergaya sicario antara 2019–2024, terutama di Lima, Callao, dan Trujillo.
Karakteristik kasus Purba sangat mirip dengan pola tersebut: pelaku lebih dari dua orang, berwajah asing, menyerang di ruang publik, serta meninggalkan korban di tempat.
Mengapa Diplomat Jadi Target
Pertanyaan besar kini menggantung: mengapa seorang diplomat Indonesia menjadi korban? Selama ini, target sicario umumnya adalah pengusaha, pebisnis, anggota geng, atau pejabat lokal yang bersinggungan dengan dunia kriminal. Jarang sekali seorang diplomat asing terjebak dalam pusaran eksekusi semacam ini.
Ada beberapa kemungkinan yang muncul dalam analisis awal:
-
Kesalahan Identifikasi
Bisa jadi Purba bukan target sebenarnya, melainkan korban salah sasaran. Beberapa kasus sicario di Amerika Latin menunjukkan adanya kesalahan identifikasi karena kemiripan fisik atau kendaraan korban. -
Pesan Politik atau Kriminal
Status Purba sebagai pejabat kedutaan membuka spekulasi lain. Apakah ada pesan politik tertentu yang ingin disampaikan? Atau apakah ia tanpa sadar bersinggungan dengan kelompok kriminal? Hingga kini, tidak ada bukti ke arah itu, tetapi kepolisian tidak menutup kemungkinan. -
Eksekusi dengan Motif Personal
Meski jarang, sicario kadang digunakan oleh individu untuk menyelesaikan urusan pribadi, mulai dari dendam, persaingan bisnis, hingga konflik rumah tangga. Aparat masih menyelidiki apakah ada motif semacam ini dalam kasus Purba.
Apapun motifnya, kenyataan bahwa korban adalah seorang diplomat membuat kasus ini menjadi sorotan internasional.
Peru dan Gelombang Kekerasan
Peru dalam lima tahun terakhir menghadapi lonjakan kejahatan terorganisir. Posisi geografisnya yang strategis di jalur perdagangan narkotika internasional membuat negeri ini rentan. Kota-kota besar seperti Lima menjadi tempat subur bagi jaringan kriminal lintas negara.
Menurut laporan Insight Crime 2024, Peru kini menjadi salah satu titik transit utama kokain dari Amerika Selatan menuju Eropa dan Asia. Bersamaan dengan itu, kelompok kriminal dari Venezuela, Kolombia, hingga Ekuador ikut masuk, membawa serta budaya sicario.
Bagi masyarakat Peru, istilah sicario bukan sekadar kata. Ia adalah teror sehari-hari yang bisa muncul di persimpangan jalan, di depan rumah, bahkan di tempat ibadah. Korban bisa siapa saja—dari pengusaha sukses hingga pelajar sekolah menengah.
Kasus Purba menunjukkan bahwa bayangan teror itu kini merambah ke kalangan diplomat, menandakan tingkat eskalasi yang lebih serius.
Fenomena sicario bukan hanya milik Peru. Di seluruh Amerika Latin, pembunuhan bergaya bayaran terus meningkat. Data Global Initiative Against Transnational Organized Crime (GI-TOC) mencatat:
-
Meksiko: lebih dari 30 ribu pembunuhan per tahun, sebagian besar terkait kartel.
-
Kolombia: meski kartel lama melemah, sicario tetap aktif di kota-kota besar.
-
Venezuela & Ekuador: peningkatan tajam sejak 2020 seiring krisis ekonomi dan politik.
-
Peru: menjadi negara transit narkotika dengan tren sicario yang terus naik.
Pola yang sama terlihat: korban ditembak di ruang publik, pelaku kabur cepat, dan penyelidikan jarang berhasil menjerat dalang utama (RED).
Discussion about this post