Oleh : Chamad Hojin*
Aksi massa beberapa minggu terakhir yang terjadi di Pati, Bone, dan Gedung DPR dipicu oleh pernyataan para pejabat yang dinilai arogan, sombong, sinis dan cenderung menantang rakyat. Para pejabat menggunakan standar ukuran orang lain atau masyarakat dengan ukuran dan standar dirinya sendiri. Akibatnya apa yang diucapkan mendapat reaksi dan tanggapan yang sangat negatif.
Misalnya, pernyataan Bupati Sudewo yang menyatakan tidak takut di demo. ” Silakan demo, lima ribu orang, lima puluh ribu pun tidak gentar, tidak takut”. Lalu para anggota DPR yang menyampaikan kenaikan tunjangan bagi wakil rakyat wajar. ” Rp50 juta per bulan wajar, kan kami tidak punya rumah di Jakarta,” dan pernyataan serta prilaku lainnya.
Mengacu pada demonstrasi rakyat pada kasus Pati, Bone dan Gedung DPR beberapa hari lalu salah satunya dipicu oleh komunikasi pejabat yang dianggap publik arogan. Penyampaian pernyataan di media terkesan sombong dan menyepelekan bahkan menantang rakyat. Padahal para pejabat itu saat pemilu meminta dukungan dan suaranya agar terpilih. Jadi ada suasana yang cukup kontras saat musim pemilihan dan saat terpilih dan menjalankan mandat rakyat.
Para pejabat tersebut seolah tidak menyadari perubahan prilakunya dan juga perubahan masyarakatnya. Dalam strategi manajemen isu, Grunig& Repper membagi level publik atau stakholders menjadi tiga jenis yakni publik laten, publik peduli dan publik aktif.
Pada level pertama, publik laten adalah mereka yang tak peduli keterkaitan isu-isu yang muncul dengan kepentingan pribadinya. Publik jenis ini apatis, cuek dan masa bodoh terhadap apapun yang sedang terjadi.
Kedua, publik peduli yakni mereka peduli keterkaitan isu tersebut dengan dirinya namun sebatas hanya untuk kesadaran dirinya. Mereka tidak membagikan atau mengajak orang lain untuk isu-isu tersebut.
Ketiga, adalah publik aktif yakni mereka yang mengetahui keterkaitan isu-isu publik dengan dirinya dan mereka aktif membagikan, mengajak dan bahkan mengorganisasi agar bergerak untuk melakukan sesuatu.
Nah mengacu pada kasus demonstrasi besar di Pati, Bone dan DPR, aksi tersebut digerakan oleh publik aktif. Husen yang awalnya kecewa atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB) mengajak dan mengorganisir masyarakat untuk melakukan aksi penolakan. Melalui media sosial dan pertemuan-pertemuan kampung mengajak warga terlibat. Husen juga mengorganisir petani dan warga desa untuk aksi ke kantor pemkab Pati. Dengan publikasi di media sosial, banyak masyarakat yang mendukungnya dan bahkan menyumbang makanan serta minuman untuk aksi.
Hal serupa hampir sama dengan demonstrasi DPR, 25 Agustus 2025 lalu. Netizen marah dengan arogansi oknum-oknum DPR saat membuat pernyataan publik terkait kenaikan tunjangan baik rumah maupun beras. Di tengah masyarakat yang masih kesulitan mencari nafkah dan lapangan kerja, pejabat tanpa empati menyatakan kewajaran kenaikan berbagai tunjangan tersebut. Belum lagi banyak oknum DPR yang masih terlibat dugaan berbagai kasus korupsi.
Akibatnya, seruan aksi di media sosial disambut oleh masyarakat yang emosional atas pernyataan pejabat yang nir empati. Aksi 25 Agustus di DPR pun berlangsung emosional dan banyak yang terlibat adalah anak-anak gen z, pekerja informal dan ojol yang aktif di media sosial baik WA, IG, Tiktok dan X.
Saat ini publik aktif dan sangat peduli dengan isu-isu pelayanan umum semakin besar. Mereka sangat aktif merespon isu- isu terbaru lantaran terkoneksi media sosial. Mereka langsung merespon dengan tagar dan meme terhadap isu yang mereka anggap di luar akal sehat. Tak sedikit mereka mengajak aksi baik membantu atau melawan isu tertentu. Kondisi tersebut yang patut disadari oleh para pejabat saat akan menanggapi sebuah isu atau berbicara terkait permasalahan publik.
Pergunakan bahasa dan tutur kata dengan halus dan pahami psikologi rakyat. Ingat mereka adalah pemilik kedaulatan kekuasaan dan siapapun yang melukai maka akan mendapat perlawanan yang terkadang tak terduga. Karena itu memahami dan menggunakan komunikasi empati bisa membangun kolaborasi dan sinergi bersama untuk kemajuan bangsa (*).
*Penulis adalah Praktisi PR, Spesial Handling Crisis
Discussion about this post