JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Di ufuk paling timur Republik ini, di sebuah kampung bernama Erambu, Distrik Sota, Merauke, tempat di mana pagi pertama menyentuh tanah Indonesia, lahir seorang pemuda yang kelak menapaki jalan sunyi pergerakan. Jefri Edi Irawan Gultom. Putra Papua Selatan ini menjahit takdirnya dengan benang perjuangan, sejak ia mengenakan seragam mahasiswa hingga kini setelah menyatakan diri untuk masuk dan berdiri di panggung politik bersama Partai Golkar.
Langkah Jefri tak pernah instan. Ia bukan produk dari dunia yang gemar mengejar sorot kamera. Perjalanannya dimulai jauh di tanah basah Merauke, tumbuh dari akar rumput, dari keringat organisasi, dari forum ke forum, dari diskusi kecil yang dipenuhi ide-ide besar. Sejak 2009, ia telah menjadi bagian dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Tiga belas tahun kemudian, ia memimpin gerakan itu sebagai Ketua Umum, terpilih dalam Kongres XXXVII GMKI di Manokwari, Papua Barat, dengan perolehan suara mayoritas: 50 suara, mengungguli dua kandidat lainnya.
Jefri bukanlah nama yang datang dari kota besar. Ia datang dari batas negeri, dari tempat di mana Indonesia seakan mulai dan berakhir. Namun dari batas itu, ia memperlihatkan bahwa kepemimpinan sejati tidak mengenal geografis. Bahwa dari Erambu pun, seorang kader bisa dipercaya menakhodai organisasi nasional.
“Saya sudah bergabung di GMKI sejak 2009,” ujarnya lirih suatu ketika. Di balik kalimat sederhana itu, tersimpan cerita panjang tentang jatuh-bangun, masa-masa jeda, hingga keraguan yang perlahan ia kikis dengan dedikasi dan keberanian.
“Tidak mudah,” katanya, “Banyak yang terpanggil, sedikit yang terpilih, lebih sedikit lagi yang setia.” Kalimat itu seperti mantra. Ia tidak sekadar memimpin, tetapi menjadi bagian dari arus panjang kaderisasi, melewati fase demi fase: anggota, komisariat, cabang, hingga akhirnya dipercaya di tingkat pusat.
Kini, ketika masa kepemimpinannya di GMKI usai, Jefri tidak berhenti. Jalan pengabdian membawanya ke ranah yang lebih keras: politik. Tapi baginya, politik bukanlah instrumen kekuasaan. Ia memaknainya sebagai ladang pengabdian, etika untuk melayani. Ia mengutip Johanes Leimena—tokoh besar sekaligus pendiri GMKI—yang berkata, “Politik bukan sekadar teknik untuk berkuasa, melainkan etika untuk melayani.” Kutipan itu menjadi pijakan Jefri menapaki jalan baru.
Pada 28 Juni 2025, dalam momen HUT ke-47 Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), organisasi sayap Partai Golkar, Jefri resmi bergabung. Ia tak sendiri. Di antara tokoh-tokoh muda lintas organisasi Cipayung, ia berdiri sebagai satu dari mereka yang membawa semangat perubahan—bukan hanya menggugat, tapi menawarkan arah dan semangat baru sebagai bahan bakar Partai Golkar.
“AMPI adalah ruang di mana anak muda bisa menyuarakan gagasan dan harapan, tanpa kehilangan nilai,” ucapnya penuh keyakinan.
Jefri Gultom bukan sekadar sosok muda dari Papua Selatan. Ia adalah cermin dari wajah Indonesia yang tersembunyi di tepian, namun bersuara lantang di pusat kekuasaan, Jakarta. Ia mengajarkan bahwa gerakan bukan hanya tentang bersuara, tapi tentang setia membentuk arah. Dan politik, jika ditempuh dengan nurani, bisa menjadi jalan untuk menata negeri (*)
Discussion about this post